Meski tak lagi berstatus sebagai ibu kota negara, namun Jakarta tetap saja mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam berbagai aspek. Di samping perannya sebagai pusat ekonomi, Jakarta juga memainkan peran yang sangat vital dalam kancah perpolitikan nasional dan masih menjadi barometer utama dalam menentukan arah kebijakan politik di Indonesia.
Setiap perubahan politik yang terjadi di Jakarta sering mencerminkan atau bahkan memengaruhi tren politik nasional. Tidak heran jika Jakarta menjadi medan pertempuran bagi para aktor politik yang berupaya keras untuk menguasai wilayah ini. Para politisi melihat penguasaan Jakarta sebagai langkah strategis untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan di tingkat nasional. Kontrol atas ibu kota lama ini berarti memiliki akses langsung ke pusat pengambilan keputusan yang krusial.
Tak salah jika dalam penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2024, Jakarta kembali menjadi pusat pergulatan dalam pertarungan kekuatan politik nasional. Daerah ini tidak hanya menjadi ajang pemilihan Kepala Daerah, tetapi juga menjadi medan pertarungan politik yang memiliki nuansa seperti Pemilihan Presiden (Pilkada rasa Pilpres). Hal ini disebabkan oleh dinamika politik yang sangat kompleks dan penuh intrik, di mana koalisi yang mendominasi Pilpres, yaitu Koalisi Indonesia Maju (KIM), berhasil membentuk aliansi besar yang dikenal sebagai KIM Plus. Aliansi ini melibatkan hampir seluruh kekuatan politik besar di Indonesia, hanya menyisakan PDI Perjuangan (PDIP).
Pembentukan KIM Plus membawa dampak besar bagi konstelasi politik di Jakarta, terutama bagi Anies Baswedan, yang sebelumnya diproyeksikan sebagai salah satu kandidat kuat dalam Pilgub Jakarta. Dukungan yang sebelumnya diperoleh Anies dari berbagai partai politik tiba-tiba menghilang, karena partai-partai pendukungnya terjebak kepentingan pragmatisme dan oportunisme yang lebih memilih bergabung dengan KIM yang dianggap lebih menjanjikan keuntungan politik, seperti jabatan menteri dalam kabinet yang dipimpin oleh pasangan Prabowo-Gibran. Sebaliknya, mendukung penuh Anies Baswedan dalam kondisi ini dianggap sebagai langkah yang kurang menguntungkan karena akan menjadi partai penonton di pojok etalase politik.
Meski Anies memiliki elektabilitas tertinggi sebagai calon Gubernur Jakarta, realitas politik menunjukkan bahwa hasil survei yang tinggi ternyata menjadi kartu mati lantaran Anies tak dapat berkontestasi apalagi menjadi pemenang. Kartu mati juga ternyata dipegang oleh PDIP, yang meskipun merupakan partai besar, harus menghadapi kenyataan bahwa perolehan 15 kursi di DPRD Jakarta tidak cukup untuk mengajukan Paslon dalam Pilgub Jakarta sesuai dengan PKPU No. 8 Tahun 2024 juncto Pasal 40 ayat 1 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
20 Agustus 2024, media massa ramai memberitakan putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 yang secara tegas membatalkan klausul ambang batas bagi Paslon dalam Pilkada sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut di atas. Dalam putusan tersebut, MK malah menggunakan kewenangan positif legislatifnya membuat norma baru, yang memungkinkan partai Gurem non-parlemen dapat mengajukan Paslon sepanjang memenuhi batas minimal perolehan suara hasil pemilu. Dengan demikian, maka kartu mati Anies dan PDIP kembali hidup.
Norma baru tersebut sangat mengejutkan publik, di tengah ancaman mobilisasi parpol KIM Plus untuk mendominasi panggung Pilkada serentak tahun 2024. Gebrakan MK tersebut langsung menohok ke jantung oligarki politik yang diperagakan oleh KIM Plus. Tak heran jika sejumlah legislator KIM Plus bertekad untuk menggunakan kewenangan DPR untuk menganulir putusan MK melalui pembentukan UU yang mereinkarnasi klausul ambang batas seperti sedia kala. Ini berarti peluang Anies dan PDIP untuk berkontestasi dalam Pilkada kembali mati. Jika hal ini terwujud, maka kita akan menjadi saksi fakta Bharatayudha antara DPR dan MK saling menyandera, lantaran keduanya memang dilekati kewenangan untuk membatalkan setiap UU. Akankah Bharatayudha politik hukum sungguh terjadi? Hanya waktu yang akan menjawab. (*)