English English Indonesian Indonesian
oleh

Festival Oni Oni Latimojong, Suara-suara dari Kaki Gunung Latimojong

“Di atas Bumi Massenrengpulu
Kami hidup menghidupi
Wahai kalian, manusia
Tolong jagalah kami!”

Di salah satu sudut kaki Gunung Latimojong, anak-anak riang menyanyikan syair kecintaan pada tempat bermukimnya. Mereka, anak-anak SDN 105, Kelurahan Baraka, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang. Sulawesi Selatan sedang berlatih drama musikal, sebagai bagian materi acara Festival Oni Oni Latimojong yang akan disuguhkan pada malam puncak, 23 Agustus 2024, di lapangan Baraka.

Festival ini juga menghadirkan Orkestra Musik Bambu yang personelnya bisa mencapai lebih dari 50 orang, Kemayoran, Lossgueen, komposisi Lada’, …, serta gelar karya ecoprint dari remaja-remaja SMK Negeri 6 Enrekang dan SMA Negeri 5 Enrekang. Tidak akan pernah ketinggalan, tentu saja: pesta minum kopi!

Oni Oni Latimojong mengandung makna bebunyian atau suara – suara yang ada di sekitaran Gunung Latimojong. Bunyian atau suara tersebut dapat berupa frekuensi yang terdengar maupun yang tidak terdengar.

“Nah…, yang paling penting dari festival ini adalah kembali mendengarkan, menyerap bunyi yang sering luput dari amatan kita, yaitu: nirswara berupa ruang interaksi manusia dan alam. Kami meyakini, relasi kami dan Gunung Latimojong selalu menjadi hulu pandangan hidup, produksi pengetahuan, serta produksi kesenian kami. Pada tahun-tahun belakangan, kami sempat alpa memerhatikan. Festival Oni Oni Latimojong diniatkan untuk mengingatkan kembali , terutama bagi kami, akan pentingnya Gunung Latimojong dan kebudayaan di sekitarnya”, kata Tamar Jaya, salah seorang penggagas acara tersebut.

Kaki Gunung Latimojong

Kelurahan Baraka, berjarak 223 KM dari kota Makassar. Jika melewati jalur ini, untuk mencapainya, kita harus menghabiskan waktu 8-9 jam melalui jalan darat. Kadang bisa lebih lama sebab kendaraan harus berhenti, bergantian dengan kendaraan lain karena sering terjadi longsor sehingga membuat jalan menjadi sempit. Sebelum pintu gerbang menuju Kabupaten Toraja, di sekitaran sanalah Kecamatan Baraka berada.

“Pasar Baraka dan Sudu merupakan pasar kopi terbesar di kaki Gunung Latimojong, menggantikan Pasar Kalosi. Para petani kopi mengenal Pasar Kalosi sebagai pasar kopi pada zaman belanda. Pasar ini tinggal nama, bahkan bentuk pasarnya pun sudah tidak terlihat,” begitu kata salah seorang warga menggambarkan bagaimana penting daerahnya.

Festival Oni Oni Latimojong tidak hanya didukung oleh Kelurahan Baraka, namun juga dari desa-desa lain di sekitaran Gunung Latimojong. Sebagai misal, Dusun Kalaciri, Desa Pottokkulin, Kecamatan Buntu Batu, sekitar 25 KM dari Kelurahan Baraka.

Di sanalah tinggal seorang pemetik gitar Kemayoan dan Lossqueen, satu-satunya, yang tersisa. Untuk mencapainya, kita haus menelusuri tebing-tebing yang dipangkas sedemikian rupa sehingga menjadi jalan dan rumah panggung di kiri-kanannya.

Atau Dusun Kalimbua, Desa Bontongan, sekitar 5 KM dari Kelurahan Baraka tempat dimana Pohon Pustaka berada. Komunitas ini adalah situs penting gerakan literasi dan pemberhentian awal para pendaki Gunung Latimojong. Dari sana juga, berpuluh bambu diangkut untuk kepentnan artistik festival. Bambu memang tumbuhan endemik dan bagian tak terpisahkan dalam berbagai upacara, kesenian, dan tradisi warga.

Helza Amelia dari Konstelasi Artistik Indonesia mengatakan bahwa penting untuk melihat lebih jauh potensi yang ada di Kaki Gunung Latimojong. Apalagi Gunung Latimojong menjadi salah satu pusat kosmos yang menyatukan Kabupaten Enrekang, Luwu, dan Toraja.

“Kita perlu beralih pandang kepada gunung, hutan, dan sungai. Pengetahuan yang ada di dalamnya sangat penting untuk menjadi tuntunan dalam berkehidupan, terutama di era dimana sangat sulit memilih informasi yang baik untuk diri sendiri”, terusnya.

“Jika mencermati landscape kaki Gunung Latimojong yang ekstrim, tebing-tebing curam yang masih terus ditanami, menunjukan gambaran gamblang manusia-manusia macam apa yang dibutuhkan, yaitu manusia tangguh dan cermat. Saya melihat korelasi dalam produksi seni bunyi. Di sni, saya merasakan bahwa manusia tidak selamanya sebagai subjek. Ia kadang menjadi objek, dibentuk oleh alam yang adalah juga subjek,” tambah Misbahuddin, seorang seniman dan salah satu fasilitator dalam perhelatan ini..

Jejaring Bergetar

Modus operandi Festival Oni Oni Latimojong adalah gotong royong. Ia dirancang dan dikerjakan bersama antara warga, Baraka Mangmesa, Pemerintah Kecamatan Baraka, Yayasan Umar Kayam, dan Konstelasi Artistik Indonesia. Cara kerja demikian memang tidak bisa dihindari jika menginginkan peristiwa-peristiwa kebudayaan lestari. Sudah banyak contoh membuktikan bahwa kerja kebudayaan yang hanya diampu oleh satu atau dua pihak akan kedodoran, dan akhirnya, mati sebelum memberi dampak berarti. Lebih celaka lagi, jika kerja-kerja kebudayan anya dibebankan pada pemerintah yang, semakin hari, semakin berat menanggung hidupnya sendiri.

Menurut Kusen Alipah Hadi, Direktur Yayasan Umar Kayam, kerja-kerja kebudayaan tidak bisa dikerjakan secara instan, namun membutuhkan waktu, kesabaran, metode, dan banyak sumber daya.

“Kerja-kerja demikian harus dipahami sebagai investasi…investasi kebudayaan! Ini tanggungjawab bersama,” lanjutnya. Oni Oni Latimojong diharapkan menjadi platform bersama perayaan warga yang menghasilkan kegembiraan dan pengetahuan, terutama berkait dengan interaksi antar manusia, alam, dan lingkungan Gunung Latimojong.

Bagai gayung bersambut, inisiasi Oni Oni Latimojong berhasil menggetarkan banyak jejaring. Mereka tergerak, menempuh perjalanan puluhan hingga ratusan KM untuk turut serta menjadi bagian kebudayaan Gunung Latimojong dalam aktivitas Seniman Mukim yang sudah berlangsung 2 minggu. Mereka adalah Reje Purnama Nago, Yusri Karisma Rezeki, dan Huriyah dari Festival Panen Kopi Gayo, Aceh Tengah; Mei Linda Br. Tarigan dari Rumah Karya Indonesia, Medan, Sumatera Utara; Nadi Lara Angela dari Pasa Harau Art and Culture Festival, Limapuluh Kota, Sumatera Barat; Muksin K. Gole dari Alor, Nusa Tenggara Timur; Misbahuddin dari Klaten, Jawa Tengah; Serta Muhammad Iqbal Makreda dan M. Gibran Ramadan R dari Masamba, Luwu Utara; Laso’ Rinding Sombolinggi dari Toraja Utara; Iqbal Lagaligo dan Wawan Maraba dari Luwu: Takdir Hidayat dan Rahmat Kaizar dari Kabupaten Kepulauan Selayar. Mari mengalami kebudayaan kaki gunung dan Oni Oni Latimojong di Lapangan Baraka. (*/)

News Feed