OLEH: Mastulen Hasanuddin
Mantan Kakawil Deppen Sulsel/Sulteng
Gema Proklamasi 17 Agustus 1945 di Tanah Mandar
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ditebus dengan darah para pejuang kemerdekaan. Gema Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta sampai juga ke Tanah Mandar.
Pergerakan kemerdekaan di wilayah Mandar dimulai oleh para tokoh pejuang dan pemuda setempat. Dahulu, Afdeling Mandar terdiri dari wilayah-wilayah seperti Majene, Balanipa, Sendana, Pamboang, Mamuju, dan daerah lainnya.
Gerakan ini juga diiringi oleh upaya memperoleh senjata dari Balikpapan. Pejabat pemerintah setempat bekerjasama dengan para pejuang kemerdekaan di pedalaman dan hutan. Pejabat tersebut adalah Hasanuddin, Parbicara/Kepala Distrik Bonde, serta Abd. Rahim, Parbicara/Kepala Distrik Adolang Kerajaan Pamboang. Hasanuddin, ayah penulis, memiliki senjata berupa pistol dan karaben Jepang, sedangkan Abd. Rahim memiliki sebuah karaben Jepang. Di samping itu, senjata juga diperoleh dari petugas H.P. Kerajaan Pamboang serta melalui pembelian senjata oleh Yambaru, Parbicara Banggae, dan Atjo Be, Parbicara Pangali-Ali Banggae Majene.
Senjata-senjata dari Hasanuddin dan Abd. Rahim direkayasa agar tampak sebagai hasil perampokan, kemudian diserahkan kepada para pejuang kemerdekaan. Peristiwa ini dijelaskan oleh pihak Belanda di Afdeling Mandar dalam laporan “Politieke Geheim Verslag” yang dokumennya tersimpan di Benteng Ujung Pandang, Makassar.
Perlakuan tentara Belanda, khususnya pasukan Westerling yang dipimpin oleh R.P.P. Westerling, sangat kejam dan melampaui batas perikemanusiaan. Pejuang yang tertangkap ditembak mati, disiksa, atau dipenggal hingga kepalanya terpisah dari tubuhnya. Kekejaman serupa juga dialami oleh ayah penulis, Hasanuddin Parbicara Bonde. Ia digantung dengan kepala di bawah dan kaki di atas, lalu tubuhnya diiris-iris. Setelah penyiksaan, ia berhasil meloloskan diri dari tahanan, namun akhirnya tewas terbunuh pada 7 Februari 1947. Sedangkan Abd. Rahim Parbicara Adolang ditembak mati di Adolang.