“Kan setahu saya sudah ada perdamaian. Kasusnya sudah dihentikan pada tahun 2022. Waktu itu warga Sokkolia ditangkapi kemudian dilepaskan karena sudah ada perdamaian. Itu kan bentuk restoratif justice (RJ). Kalau ada RJ itu mestinya SP3 dong, kok lanjut,” jelasnya.
Syafriadi menilai tindakan penyidik melanjutkan kasus ini justru bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. “Jadi kalau kasus pemalsuannya yang diproses, maka harusnya sudah gugur,” ungkap Syafriadi.
Menurutnya, hakim harusnya bisa melihat kesalahan dalam penetapan tersangka, kesalahan penangkapan, dan kesalahan penahanan dua warga Sokkolia. Sebab, jelas sekali kasus yang sudah didamaikan dipaksakan untuk diangkat kembali. “Mana mungkin kasus yang sudah damai diangkat kembali tanpa ada laporan baru. Yang kami pantau fakta persidangan jelas terlihat kesalahan itu. Jadi hakim jangan tutup mata lah,” pintanya.
Kasus yang menimpa warga Sokkolia yakni dugaan terlibat dalam memalsukan Surat Keterangan Pemilikan Tanah Sementara dengan menggunakan sangkaan Pasal 266 dan 263 KUHP jo Pasal 56 UU Nomor 1 Tahin 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dua orang warga yang ditangkap dan ditahan telah menguasai dan menggarap lahan tersebut puluhan tahun. Namun ada pihak lain yang mengklaim lahan garapan tersebut dan belum pernah digugat di pengadilan. Warga yang mengklaim inilah yang melaporkan Dolo dan Nai dan Agus dg Ngunjung dan langsung diproses kepolisian. (*)