English English Indonesian Indonesian
oleh

Siapakah Orang Cerdas Itu?

Oleh Aswar Hasan
Dosen Fisip Unhas

Pertanyaan kerap menggelayut di dunia pendidikan dan dunia pemerintahan kita adalah siapa yang paling cerdas di antara mereka sehingga layak dipercaya untuk diberi amanah.

Jawaban yang dinanti pada umumnya adalah mengacu pada prestasi karir (duniawi) dia selama ini. Jawaban tersebut tidaklah salah terutama jika dilihat dari perspektif duniawi semata.

Pandangan itu akan terkoreksi manakala kita merenungkan makna sebuah hadits sabagaimana kata Umar bin Khattab yang menyatakan, bersama sepuluh orang, saya bertemu Nabi SAW lalu salah satu di antara kami bertanya, ‘Siapa orang paling cerdas dan mulia wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat’.” (hadits riwayat Ibnu Majah).

Berkaitan dengan kematian itu, Ali bin Abi Thalib berkata; “Kematian adalah kepastian yang tak terhindarkan.” Oleh sebab itu, “Persiapkan dirimu untuk menghadapi kematian tanpa penyesalan.” Karenanya; “Hiduplah sebagai orang yang siap mati, dan cintailah hidupmu sebagai orang yang tidak takut mati. Sebab “Kematian mengajarkan kita arti nilai hidup.”

Abu Bakar Al-Razi, filosof Muslim yang terkenal dengan bukunya Al-Tibb Al-Ruhani , mencatat bahwa di antara hal yang membuat jiwa melantur hidup tak menentu dan mendorongnya ke berbagai pertarungan yang merugikan dan syahwat yang tercela adalah panjang angan-angan dan lupa akan kematian. Kita pun bisa memahami keheranan Salman Al Farisi, seorang sahabat nabi dari tanah Persia, juga pernah berkata: “yang membuatku heran hingga membuatku tertawa: Orang yang mengangankan dunia padahal kematian tengah memburunya”.

Mengingat kematian bukan berarti terobsesi dengannya, melainkan menjadikannya sebagai pengingat untuk menjalani hidup dengan penuh makna. Kesadaran akan kematian mendorong kita untuk tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada. Kita pun terdorong untuk melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan menghindari perbuatan tercela.

Persiapan terbaik untuk kematian adalah dengan memperbanyak amal saleh, seperti salat, puasa, zakat, sedekah, dan perbuatan baik lainnya. Selain itu, memperbaiki akhlak dan memupuk ketakwaan kepada Allah SWT juga merupakan persiapan penting.

Mengapa orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling bagus persiapannya untuk menghadapinya adalah orang yang paling cerdas?

Ada beberapa alasannya diantaranya: Sebab mereka memiliki tujuan hidup yang jelas. Kesadaran akan kematian membuat mereka fokus pada tujuan hidup yang hakiki, yaitu meraih kebahagiaan di akhirat. mereka tidak terikat pada dunia. Mereka memahami bahwa dunia hanyalah tempat persinggahan sementara, dan mereka tidak terlena dengan kenikmatannya.

Mereka selalu siap menghadapi kematian. Mereka telah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, sehingga kematian tidak menjadi hal yang menakutkan bagi mereka. Mereka hidup dengan penuh makna. Setiap detik kehidupan mereka berharga dan dimanfaatkan untuk melakukan kebaikan.

Sebagai muslim, kita seyogianya menjadikan hadits ini sebagai pedoman hidup. Mari kita perbanyak mengingat kematian dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapinya. Dengan demikian, kita dapat menjadi orang-orang yang cerdas dan beriman yang meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dengan demikian, kita dapat meninggalkan dunia dengan penuh ketenangan dan kebahagiaan, dan menuju akhirat dengan penuh harapan dan optimisme.

Hidup untuk Mati atau Mati untuk Hidup

Kita tidaklah hidup untuk mati tetapi hidup dan kematian itu satu paket demi kehidupan itu sendiri. Bahwa kehidupan itu sendiri ( di dunia ini ) ada di bawah bayang -bayang kematian. Sementara kematian (duniawi) itu adalah pintu menuju kehidupan yang abadi. Hanya saja keabadian kehidupan itu, belum bisa dibuktikan secara empiris karena belum ada manusia yang dari sana dan menceritakannya.

Jika ada manusia yang pernah ke sana, lalu menceritakannya, niscaya semua manusia yang hidup sekarang ini berpikir dan berniat baik untuk kematian, demi di kehidupan yang kelak. Kehidupan yang kelak itu, adalah kehidupan yang abadi kekal, sementara kehidupan ban yang sekarang sedang kita jalani ini adalah sementara atau fana alias tidak kekal perspektif Qur’an disebutkan;

“Wahai orang mukmin, ketahuilah sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan. Karena itu, jangan sampai kamu larut di dalamnya. Kehidupan dunia ini juga merupakan perhiasan bagimu dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan. Semua itu seperti hujan yang menumbuhkan tanam-tanamannya sehingga mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering saat kemarau dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Itulah permisalan bagi kehidupan dunia yang fana ( QS Al Hadit : 20).

Hanya saja, perspektif Al-Qur’an tersebut banyak yang melalaikannya atau bahkan tidak meyakininya. Padahal, sebagai orang yang berikan salah satu syarat turunnya adalah mengimani yang ghaib. Wallahu a’lam bissawwabe

News Feed