English English Indonesian Indonesian
oleh

Pesan Olimpiade

Oleh: Aidir Amin Daud

Ketika Pierre de Fredy – Baron de Coubertin — di tahun 1894 memotori pelaksanaan Olimpiade di Sorbonne Paris, awalnya memang berangkat hanya bagaimana mempromosikan para atlet yang berprestasi. Para atlet yang lahir dari upaya memperbaiki dunia pendidikan melalui pendidikan olahraga. Dan apapun Olimpiade kuno pada awalnya adalah sebuah festival keagamaan untuk memuja dewa paling berkuasa dari semua dewa Yunani, Zeus dari Gunung Olimpia (gunung tertinggi di Yunani dengan ketinggian hampir mencapai 10.000 kaki). Dan Olimpiade modern pertama — atas inisiatif Baron Courbertin — diadakan di Athena Yunani dan sukses. Maka Olimpiade pun kemudian selalu membawa pesan-pesan perdamaian antar bangsa dan umat manusia. Menjadi ajang untuk menjadi bagian dari tim dan  manusia terkuat hingga tercepat. Pekan lalu — dua wakil Indonesia: Veddriq Leonardo dan Rizki Juniansyah menjadi ‘tercepat’ dalam memanjat tebing dan menjadi bagian terkuat dari mengangkat besi.

Namun Olimpiade yang ditutup kemarin, diadakan ketika beberapa bagian dunia tetap berada dalam suasana yang mencekam, kekalutan dan penderitaan yang tiada taranya. Rakyat di Gaza dan rakyat di sebagian Ukraina, adalah korban kebiadaban perang dan badan dunia dan negara-negara adikuasa sepertinya tak punya daya apapun untuk menghentikan itu. Pesan-pesan damai yang dikumandangkan dalam pembukaan Olimpiade Paris hingga penutupannya kemarin, seperti tak bergaung sedikitpun di keriuhan semua arena pertandingan.

**

Penyelenggara  Olimpiade Paris sepertinya setengah hati memberi pesan kuat kepada pentingnya perhatian kepada upaya damai. Kita sama mencatat bahwa sebanyak tiga belas negara telah dilarang atau masuk blacklist selama penyelenggaraan Olimpiade. Hal ini karena alasan seperti perang, doping, sikap politik, atau pelanggaran peraturan IOC.

Kita juga melihat bagaimana saat tim nasional Israel turun ke lapangan untuk pertandingan pembukaan Olimpiade Musim Panas 2024 di Paris, lagu kebangsaan mereka disambut dengan teriakan ‘Free Palestine’. Sama kita ketahui bahwa sebanyak 88 atlet Israel berpartisipasi dalam Olimpiade Paris. Israel yang secara brutal telah membantai lebih dari 39 ribu orang di Gaza.

Mungkin juga penyelenggara Olimpiade Paris telah bersikap diskriminasi. Misalnya saja, Rusia dan Belarus yang harus ‘absen’ dari Olimpiade 2024 akibat perang yang sedang berlangsung di Ukraina. Padahal Israel boleh ikut. Ada apa?

Larangan terhadap pelaku ‘agresi perang’ sudah ada sejak Olimpiade 1920 yang diadakan di Antwerpen, Belgia. Kala itu, Jerman, Austria, Hongaria, Bulgaria, dan Turki dilarang berpartisipasi karena keterlibatan mereka dalam Perang Dunia I. Olimpiade 1924, Jerman juga dilarang ikut  sebagai perpanjangan dari larangan sebelumnya dan konsekuensi dari Perang Dunia I.

Kemudian, Olimpiade Musim Panas 1948 yang diselenggarakan di London juga melarang Jerman dan Jepang sebagai konsekuensi dari peran mereka dalam Perang Dunia II dan kehancuran yang ditimbulkannya. Lalu pada Olimpiade tahun 1964 hingga 1992, Afrika Selatan masuk dalam larangan  karena segregasi rasial akibat rezim apartheid. Pada Olimpiade Melbourne 2000, Afghanistan tidak diizinkan ikut karena sudah dikuasai Taliban. 

**

Seharusnya pesan damai dan implementasinya tetap harus menjadi sesuatu yang prinsip dalam pesta Olimpiade. Apapun Israel secara nyata telah menjadi ‘pembantai’ di Gaza. Mereka seharusnya tak dibolehkan hadir di arena Olimpiade Paris. Kehadiran mereka apapun memberi kesan, bahwa Israel direstui untuk membantai rakyat Palestina di Gaza. Olimpiade sudah ditutup dan sudah gagal menyampaikan pesan-pesan damai itu.**

News Feed