English English Indonesian Indonesian
oleh

Mitos Belajar

Oleh: Sofyan, Dosen Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Makassar

Sejak sekolah di SMA, saya selalu mendapati kalimat yang sangat surgawi tentang belajar. Dan karenanya, saya selalu mempercayai itu; benar, itu tidak ada keraguan didalamnya. Bahwa, gaya belajar siswa itu terdiri atas empat; audio, visual, audio visual dan kinestetik. Saya kira, bukan hanya saya yang mempercayai itu. Di luar sana, seluruh siswa hampir sempurna pun percaya.

Tidak hanya siswa, guru pun demikian. Dalam beberapa kesempatan, ketika berdiskusi dengan seorang guru, hampir seluruhnya mengamini. Saya tidak tahu, apa sebab begitu kuatnya kepercayaan pada mitos ini. Tapi, ada satu hal yang membuat saya curiga. Bahwa, siswa, guru, masyarakat lingkungan sekolah tidak tajam dalam berpikir. Pun saya demikian, ketika itu.

Saya bersyukur, saya pernah dan masih aktif dalam dunia jurnalistik. Sebab dari jurnalistiklah, saya mengalami peningkatan kepekaan untuk mempertanyakan segala sesuatu; tidak langsung percaya begitu saja segala sesuatu tanpa konfirmasi dan validasi. Nalar kritis begitu kuat diperlukan dalam sebuah peliputan.

Satu hal yang mesti dikuasai jurnalis untuk menghasilkan liputan yang kuat adalah sebuah pertanyaan. Pertanyaan tidak jadi begitu saja, tapi ia lahir dari daya tangkap terhadap teks dan konteks sebuah peristiwa. Maka ketika sebuah pertanyaan ditanyakan kepada narasumber, maka sebelum itu, saya pastikan telah berjalan logika analitik; teks dan konteks.

Dalam hubungannya dengan mitos belajar, yang disampaikan di ruang kelas. Kita tidak pernah diberikan kebebasan untuk memberikan pertanyaan. Ketika seorang siswa bertanya; guru, siswa, orang tua, bahkan warga sekitar sekolah tidak memberi apresiasi. Apalagi, jika pertanyaan itu dinilai keluar dari konteks kesopanan. Dalam hal ini, orang yang seharusnya menjawab tapi tidak dapat memberikannya. Akibat dari kebodohannya.

Maka jadilah kelas itu seperti ruang kekuasaan; tunduk dan patuh. Jika tidak demikian, akan ada konsekuensi; hukum yang menurut kekuasaan adalah sebuah kebenaran. Dan itu mutlak. Ketika disampaikan bahwa tiap-tiap siswa punya kekhasan gaya belajar, maka itulah kebenarannya. Alternatif lainnya tidak berlaku meski ukuran nilai lebih besar dan kuat. Inilah doktrin.

Saya ingat betul, ketika masih sekolah. Salah seorang guru saya berlagak seperti seorang diktator. Segala bentuk ucapannya adalah kebenaran. Suatu ketika, giliran saya diperiksa catatan saduran dari sebuah buku pelajaran. Kemudian didapati, catatan saya tidak lengkap. Alasan saya sangat rasional. Waktu itu musim cengkeh, sepulang sekolah ikut memetik cengkeh di kebun dan malam harinya harus dipisah dari tangkainya, hingga larut malam.

Alasan yang rasional itu tidak diterima. Saya tetaplah orang pesakitan yang mesti mendapat hukuman. Maka berdirilah saya di depan kelas; menyaksikan teman sekelas berbisik-bisik sambil tersenyum masam. Saya katanya, adalah siswa dengan gaya belajar kinestetik. Maka, harus lebih aktif bergerak dan mencatat. Jika itu tidak dilakukan maka proses belajar saya dipastikan salah.

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti kegiatan pelatihan implementasi kurikulum merdeka. Pesertanya sangat beragam; ini sangat menarik. Seorang pemateri menjelaskan jika gaya belajar sangat penting untuk diketahui guru. Alasannya, kata pemateri itu, gaya belajar akan sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran di kelas. Karena, identifikasi gaya belajar dapat menentukan strategi, metode, dan media pembelajaran yang akan dipakai.

Sebuah kalimat yang sangat indah sehingga membuat peserta pelatihan manggut-manggut. Saya menikmati sajian materi itu sambil minum kopi hitam tanpa gula; rasanya pahit pekat. Rupanya, doktrin mitos gaya belajar itu masih hidup. Wajar, saya kira, barangkali pemateri belum up date pengetahuan tentang gaya belajar.Sebab saya sendiri baru sekitar sebulan lalu membaca jurnal yang menolak tegas doktrin tersebut.

Jurnal terbitan tahun 2005 –How We Learn; tepat tahun ketika saya dihukum berdiri di depan kelas, ditulis Heidi L. Lujan and Stephen E. DiCarlo dari Wayne State University School of Medicine, Detroit, Michigan. Dalam konklusinya, jurnal ini dengan berani menyatakan “Most students (64%),however, preferred multiple modes of information presentation”.

Artinya, setiap siswa tidak bisa fokus pada satu gaya belajar. Masih dalam jurnal yang sama menyatakan “only 36.1% of the students preferred a single mode of information presentation (either visual, auditory, reading/writing, or kinesthetic)”. Rinciannya, 5% auditori, 5% visual, 8% audio visual, dan 18,1% kinestetik. Secara persentase, data ini menunjukkan membuktikan kemitosan gaya belajar tersebut.

Ketika terjadi perubahan kurikulum yang saat ini lebih bertumpu pada siswa, maka kebingungan pun terjadi. Untuk mengatasi masala itu, guru mengambil langkah taktis; kembali ke doktrin. Belum lagi beban kerja berlebih membuat guru mengalami kelelahan profesi; lebih tinggi dari para pelayanan kesehatan. Bahkan, hasil temuan Ozamiz-Etxebarria tahun 2023, kelelahan lebih tinggi dialami guru perempuan.

Lingkaran setan yang dialami guru tidak dapat terselesaikan. Kecuali, dengan memberikan penghargaan atas upaya dan usaha guru, dengan pemberian upah yang layak. Sehingga tidak ada lagi guru yang nyambi jadi petani, pekebun, youtuber, influencer dan lainnya. Juga memberikan waktu luang lebih banyak untuk tidak berinteraksi dengan administrasi yang ribet, agar dapat fokus kepada siswa dan keluarganya di rumah. (*)

News Feed