English English Indonesian Indonesian
oleh

Rekonstruksi Ambang Batas Maksimal dalam Pencalonan Kepala Daerah

OLEH: Dr. Dian Fitri Sabrina, S.H., M.H. / Dosen Hukum Tata Negara Universitas Sulawesi Barat ([email protected])

Pencalonan kepala daerah berdasarkan ambang batas maksimal telah sejalan dengan fungsi partai politik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 11 undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik yang menyatakan bahwa partai politik sebagai pendidikan politik, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, aspirasi politik masyarakat, partisipasi politik dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi. Fungsi partai politik juga tidak terlepas dari pencalonan kepala daerah pada pemilu kepala daerah 2024. Meningkatnya kolom kosong sebagai alternatif munculnya calon tunggal pada pemilihan kepala daerah berdampak pada kemandirian dan eksistensi partai politik untuk melakukan rekrutmen politik dalam proses pemilihan.

Kemenangan Partai PKS di Jakarta pada pemilihan legislatif di daerah berdasarkan pemilukada sebelumnya tidak memudahkannya untuk dapat secara mandiri mengusung pasangan calon karena persentase yang dimiliki belum memenuhi syarat sehingga perlu dilakukan koalisi terhadap partai lain. Syarat ambang batas parlemen di daerah sangat membatasi ruang gerak partai politik untuk menentukan pilihannya. Pada pemilu kepala daerah 2024 di Jakarta, Partai PKS telah mendeklarasikan Anis dan Sohibul Iman sebagai bakal calon yang maju pada pemilu kepala daerah wilayah Jakarta.

Dalam kompetisi biasanya pemenang selalu mendapatkan reward terhadap capaiannya, namun tidak pada partai politik pemenang karena kemenangan partai politik tidak mempengaruhi syarat pencalonan. Berdasarkan hal tersebut diperlukan sebuah rekonstruksi pencalonan kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Rekonstruksi ini diyakini memiliki pengaruh terhadap kualitas partai politik dan demokrasi di Indonesia khususnya dalam pemilihan kepala daerah. Rekonstruksi ambang batas kepala daerah didasarkan pada partai politik pemenang kursi di DPRD. Syarat kursi maksimal oleh partai politik pemenang menjadi patokan terhadap partai politik lain untuk mencalonkan kepala daerah.

Artinya partai politik lain dapat melakukan koalisi dalam mengusung calon selama tidak melampaui ambang batas yang diperoleh partai politik pemenang. Hal tersebut dapat memberikan ruang secara luas dan mandiri terhadap partai politik pemenang untuk mengusung calonnya, begitu juga partai politik lain yang tidak ingin berkoalisi namun tetap dapat mengusung calonnya selama partai tersebut sekurang-kurang memiliki kursi di DPRD.

Di sisi lain, ambang batas maksimal pencalonan kepala daerah bersifat dinamis dan berkelanjutan. Ambang batas maksimal bukan hanya menguatkan sistem kepartaian dan fungsi partai politik, namun masyarakat akan diperhadapkan oleh beberapa pilihan yang memungkinkan proses rekrutmen dan pemilihan kepala daerah semakin transparan dan demokratis.

Faktanya selama ini, koalisi partai dalam mengusung calon kepala daerah saling sandera dan mengedepankan ego partai bukan semata-mata menjaga soliditas kerja koalisi. Sehingga hal tersebut tidak mencerminkan kemandirian partai dan kekuatan oposisi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keberadaan oposisi tentunya menjadi penting untuk perdebatan secara konstruksif sehingga melahirkan kredibilitas dalam upaya peningkatan kemajuan daerah.

Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah menyebutkan, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.”

Dalam praktiknya, calon kepala daerah dan wakilnya ialah nama yang diusung partai politik yang memiliki perolehan jumlah kursi di DPRD atau memiliki akumulasi perolehan suara terbanyak diantara partai-partai yang tergabung dalam koalisi. Sementara, terhadap partai politik yang perolehan kursi atau akumulasi suaranya kecil, tidak akan mungkin dapat mencalonkan kader terbaik dari partainya, dan diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah sehingga seringkali terjadi munculnya kolom kosong.

Kelebihan model ambang batas maksimal pencalonan kepala daerah adalah sebagai berikut :

  1. Ambang batas maksimal konstitutional
  2. Sejalan dengan makna Pasal 11Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang partai Politik
  3. Menguatkan sistem kepartaian
  4. Menguatkan posisi hak partai politik pemenang dengan tidak menghilangkan hak politik partai kecil kursi di DPRD
  5. Penyederhanaan partai politik
  6. Penguatan sistem demokrasi dan sistem pemilu
  7. Melahirkan sistem check and balance dalam pemerintahan
  8. Menghilangkan sistem kolom kosong
  9. Menghilangkan munculnya calon tunggal
  10. Menguatkan konsep pemilu

Model ambang batas pencalonan kepala daerah saat ini semakin mengkhawatirkan. Partai politik saling berharap, saling menyandera, tidak transparan, tidak mandiri, takut bersebrangan dengan partai politik dalam pemerintahan, dan memberikan penawaran khusus demi kepentingan tertentu. Berdasarkan data pemilukada, ditemukan meningkatnya kolom kosong akibat proses pencalonan yang mengabaikan hak partai politik dalam mengusung calonnya secara mandiri. 

Grafik pemilukada 2015-2020

Sumber Data KPU RI

Berdasarkan data yang disajikan dapat disimpulkan bahwa peningkatan kolom kosong pada pemilukada semakin meningkat, hal ini akan merusak fungsi partai politik sebagai partisipasi politik dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi.

Rekonstruksi ambang batas maksimal

Setiap warga negara memiliki hak konstitusional (citizen constitutional right) untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945. Negara telah memberikan hak yang sama untuk duduk dalam pemerintahan, tapi tidak semua orang memiliki akses yang sama untuk dapat duduk dalam pemerintahan. Kalaupun tidak semua orang memiliki akses yang sama, setidak-tidaknya negara menjamin akses yang lebih besar untuk duduk dalam pemerintahan.

Setiap partai politik memiliki hak yang sama untuk mengusung calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Tujuannya agar tidak menitikberatkan hanya pada gabungan partai politik namun menghendaki partai politik dapat mengusung calon presiden secara mandiri. Hal ini sejalan dengan makna atau yang berarti bahwa setiap partai politik memiliki pilihan, apakah akan  mengusung calonnya secara mandiri atau berkoalisi. Bahwa ketentuan pasal Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah ini tentu tidak bermakna tanpa batasan, artinya ketentuan ini menghendaki adanya standardisasi yang dituangkan dalam undang-undang untuk melahirkan penyederhanaan mekanisme pencalonan dan menghindari munculnya calon tunggal akibat koalisi besar.Bahwa standar dari ketentuan mengenai pilihan mandiri atau koalisi partai politik harus didasarkan pada hasil pemilu sebelumnya di mana partai politik telah memenuhi syarat ambang batas parlemen (kursi DPRD).

Bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah menyebutkan, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.” justru mengebiri kemandirian partai politik untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Partai politik dipaksa secara sistemik untuk melakukan penggabungan partai untuk memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah pemilihan umum DPRD di daerah yang bersangkutan.

Berdasarkan hal tersebut, rekonstruksi ambang batas maksimal diperlukan untuk mendisain model pencalonan yang ideal dan demokratis. Partai politik pemenang dalam pemilihan DPRD di daerah yang bersangkutan sebelumnya menjadi potakan untuk mengusung calonnya. Partai politik lain dapat melakukan koalisi selama tidak melampaui ambang batas partai politik pemenang. Model ini akan menghilangkan polarisasi pada masyarakat terhadap pilihan yang ditawarkan dan menonjolkan kemandirian dan kematangan partai terhadap keberadaan kekuataan partai oposisi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. (*)

News Feed