English English Indonesian Indonesian
oleh

Kotak Kosong dan Cacatnya Kualitas Demokrasi Indonesia

Oleh : Hasrullah

Saat ini hanya Kota Makassar yang menjadi saksi sejarah kemenangan kotak kosong dalam kontestasi Pilkada. Ke depannya, bisa saja hal ini terjadi di semua daerah. Secara ketatanegaraan, demokrasi Indonesia berjalan selangkah lebih mundur ke belakang dengan dibolehkannya calon tunggal berkontestasi dalam Pilkada. Ketika calon tunggal memenangkan Pilkada calon tersebut menang dengan ketidakadaan calon alternatif, tetapi ketika kotak kosong menang, maka untuk beberapa waktu ke depan daerah tersebut akan dipimpin oleh orang yang ditunjuk langsung oleh Pemerintah Pusat. Potensi untuk lahirnya kembali sistem sentralisasi sebagaimana yang terjadi pada orde baru bukan lagi sekadar mimpi di siang bolong.

Di buku How Democracies Die (2018), Steven Levitsky dan temannya Daniel Ziblatt mengingatkan bahwa lebih sering demokrasi mati perlahan dikarenakan pengikisan bertahap terhadap norma-norma politik. Dalam konteks pemilihan kepala daerah atau pilkada di Indonesia, salah satu hal yang akan membawa demokrasi mati perlahan-lahan adalah fenomena kotak kosong. Fenomena kotak kosong ini mencerminkan kegagalan sistem demokrasi kita yang sejatinya menghadirkan pilihan beragam bagi masyarakat dalam pemilihan umum. Demokrasi mestinya dipahami bukan hanya sebagai prosedur, melainkan sebuah sistem yang menjamin adanya kompetisi yang sehat dan adil.

Berhadapan dengan kotak kosong di pilkada adalah mekanisme yang menjanjikan bagi politisi di daerah. Mereka dapat memenangi pilkada tanpa harus melalui debat sengit atau kampanye yang intensif. Biaya politik yang mesti dikeluarkan calon mungkin lebih besar karena harus memborong rekomendasi partai di depan, tetapi ini dianggap sepadan dengan kemenangan yang mudah diraih. Dalam banyak kasus, calon tunggal yang diusung oleh koalisi gemuk parpol di daerah adalah tokoh yang memiliki dukungan finansial kuat.

John Keane dalam bukunya, The New Despotism (2020), menyatakan, di abad ke-21 ini muncul modus kekuasaan yang berbeda dari pengalaman di masa lalu. John Keane menyebutnya “despotisme baru”. Modus ini berbeda dari tirani klasik yang terbuka, tetapi lebih kepada manipulasi sistem politik dan institusi untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan tanpa melanggar norma-norma demokratis secara terbuka. Fenomena kotak kosong ini bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk menjaga status quo kekuasaan yang ada dan memastikan tak ada pesaing serius yang muncul, pihak berkuasa atau mereka yang memiliki kemampuan finansial kuat dapat memanipulasi proses pemilu untuk memastikan kemenangan mereka dengan lebih mudah.

Sebelum keadaan jadi kian buruk, langkah antisipasi dalam bentuk perbaikan regulasi sebaiknya diambil. Tanpa langkah serius ini, konsekuensi terburuk yang dapat terjadi adalah pilkada serentak di tahun-tahun mendatang akan berisi mayoritas pasangan calon tunggal berhadapan dengan kotak kosong. Demokrasi kita pun akan mati pelan-pelan. Masyarakat pada akhirnya menjadi korban hanya bisa pasrah melihat berkembangbiaknya bibit despotisme baru di daerah. (*)

News Feed