Oleh: Alwy Rachman, Purnabakti Fak. Ilmu Budaya Unhas
“//Aku ini binatang jalang //dari kumpulannya terbuang” (Chairil Anwar, Aku, 1943)
Sebagai eksistensi, sebagai diri, “aku” telah dicari dan dipertanyakan oleh ragam cendekia. Berabad lamanya, “aku” didudukkan di tempat tinggi (transenden), tempat menggantungkan pertanyaan besar dan rumit oleh kalangan seniman, psikolog, filsuf, dan pemikir. “Aku”, dengan demikian, menjadi medan wacana, tempat mencari identitas diri. “Aku” adalah pusat eksplorasi.
Di percakapan sehari-hari, penyebutan “aku” dan “saya” dipakai secara sejajar, secara manasuka (arbitrer). Keduanya dipakai dengan dasar citra dan rasa bahasa: santun atau tidak, tinggi atau rendah, formal atau tidak. Kemanasukaan “aku” dan “saya” bergantung pada preferensi pribadi dan pada konteks tutur: apa situasinya, apa temanya, siapa dan apa status penutur dan petuturnya.
Di masa lalu, “aku” telah menyita perhatian akademik dari dua psikolog terkemuka: Sigmund Freud dan Carl Jung. Keduanya adalah kolaborator satu sama lain, sekalian lawan tanding akademik. Jika Freud menyodorkan id, ego, dan superego, sebagai penggerak kepribadian manusia, Jung meyakini anima dan animus tersimpan sebagai penyeimbang pada diri manusia. Freud dikenal sebagai pemuka psikoanalisis, Jung dikenal sebagai pesohor psikologi analitik. Meski hidup sezaman, Jung satu generasi sesudah Freud.
Freud bilang “aku” memuat id yang primal (pertama dan utama), dijembatani oleh ego menuju superego yang rasional dan dapat mencerap moral dan etika. Jung bilang “aku” menimbun anima dan animus. “Aku” yang lelaki membawa anima, berisi aspek femininitas tak tersadari, berfungsi menghubungkan “aku” ke sisi emosi, sensitivitas, dan intuisi. “Aku” yang perempuan menyimpan animus, yaitu aspek maskulinitas yang membawa “aku” ke sisi rasionalitas dan keteguhan. “Aku” adalah psike (psyche) ganda: anima dan animus.