Interaksi “aku” sebagai diri dengan “aku” di individu lain bisa problematik, untuk tak mengatakan berpotensi berkonflik. Ketiadaan pengakuan (recognition) di antara dua “aku” bisa memicu kekerasan. Tanpa pengakuan, “aku-individu” bisa berubah secara cepat menjadi “aku-kolektif”. Dalam keadaan damai, “aku-kolektif” hanya bersuara sebatas kritis. Dalam keadaan ekstrim, “aku-kolektif” berwajah garang.
Wajah garang “aku-kolektif” telah terlihat pada malapetaka musim semi Arab (Arab Spring). Penyebutan “musim semi” terlanjur dipakai oleh jurnalis dan analis Barat. Cita rasa indah ibarat tersemat pada penyebutan ini, meski peristiwanya bersimbah darah, menyebabkan ratusan ribu nyawa melayang, dan meruntuhkan pusat-pusat kekuasaan. Di musim semi Arab, “aku-kolektif” diekspresikan melalui kekerasan di sejumlah negara Arab.
Pemantik musim semi Arab adalah konflik dua “aku-individu” di Tunisia: Mohamed Bouazizi dan Faida Hamdi. Bouazizi adalah lelaki pedagang kaki-lima, Hamdi adalah pejabat pemeriksa kota. Dalam satu aksi penertiban, Bouazizi ditampar oleh Hamdi. Bouazizi protes pada otoritas dan mencari pengakuan atas ketidakadilan perlakuan sang pejabat. Kekuasaan tak merespons perasaan terhina, hingga akhirnya Bouazizi bertindak ekstrem: bakar diri.
Mohammed Bouazizi kehilangan anima, Hamdi mengalami penumpulan animus. Bouazizi kehilangan muka di atas budaya yang didominasi lelaki, sementara Hamdi merasa menjalankan perannya sebagai aparatus meski dengan kekerasan. Satu individu kehilangan harga diri, individu lain kehilangan kendali.