English English Indonesian Indonesian
oleh

Disonasi Digital, Peran Guru, dan Penyebab Kegagalan Anak 

Oleh: Hafid Abbas, Guru Besar UNJ

Pada 30 Juli 2024, UNJ kembali lagi mengukuhkan tiga orang guru besarnya yakni: Prof Dr Ika Lestari, SPd, MSi, Guru Besar Bidang Ilmu Teknologi Pembelajaran SD; Prof Dr Otib Satibi Hidayat MPd, Guru Besar Bidang Ilmu Pembelajaran Kelas Awal SD; dan Prof Dr Iva Sarifah, MPd Guru Besar Bidang Ilmu Penelitian dan Evaluasi di SD. 

Pada orasi ilmiahnya, Prof Lestari mengetengahkan topik Inovasi Model Integrated Mobile Learning System (IMLS) dalam Membangun Interkoneksi Pembelajaran SD Menuju Generasi Emas 2045. Dikemukakan bahwa peserta didik yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah, baik pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar atau pendidikan menengah merupakan tonggak dasar dalam pembangunan Indonesia emas 2045 yang nantinya menjadi pemimpin bangsa pada 2045. Karenanya, diperlukan satu sistem pendidikan dan pembelajaran yang dapat membekali calon-calon pemimpin bangsa tahun 2045, seperti pembekalan kompetensi digital. 

Namun di sisi lain, terlihat terdapat kesenjangan antara cara peserta didik menggunakan teknologi dalam kegiatan belajar formal dan informal. Di sekolah, teknologi digunakan secara terstruktur, diawasi, diarahkan dan sebagian besar teknologi digital yang digunakan dapat dilihat di ruang publik. Sebaliknya, di rumah, teknologi digunakan oleh peserta didik secara acak, tidak diawasi secara sosial dan kolaboratif, berada pada ruang pribadi anak. Kesenjangan ini dapat menimbulkan ‘disonansi digital’ (psychological stress) yang mengancam kegagalan anak di masa depan. 

Karenanya, disonansi digital diharapkan teratasi melalui Integrated mobile learning system (IMLS) yang dapat menuntun peserta didik tidak hanya dapat menggunakan teknologi, namun juga keterampilan dalam berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis, tanpa mengabaikan etika dalam penggunaan teknologi sebagai warga digital yang bertanggung jawab, sehingga arah kompetensi generasi Indonesia menuju 2045 dapat tercapai. 

Selanjutnya, pada orasi ilmiahnya, Prof Otib menyoroti Anomali Realitas Pembelajaran Nilai, Moral dan Karakter bagi Anak SD: Tantangan dan Rekomendasi. Dikemukakan bahwa anak usia SD adalah aset bangsa yang harus mendapatkan layanan pendidikan terbaik. Sebagai peserta didik, anak usia SD perlu mendapatkan proses pendidikan yang dapat mengantarkan segala potensi yang dimilikinya berkembang secara optimal (physical, emotional, psychological and  social)

Namun, dalam kehidupannya di masyarakat, anak menghadapi beragam realitas kehidupan, anomaly dan benturan nilai yang saling bertentangan yang dapat mengganggu perkembangan masa depan anak.  Karenanya, pada kehidupan anak di sekolah, agar perkembangan potensi kecerdasannya yang holistic dapat tumbuh secara optimal, anak membutuhkan arahan, bimbingan atau pendampingan dari guru agar kelak unggul dan mampu berdaya saing tinggi dalam menghadapi kehidupan sesuai tuntutan abad ke-21. 

Hal itu beralasan secara ilmiah karena anak usia SD berada pada masa keemasan yang hanya dialami manusia satu kali dalam kehidupannya. Berbagai potensi tersembunyi (Hidden Excellence In Personhood) yang dimiliki anak seyogianya selalu distimulasi agar tumbuh dengan baik secara optimal. 

Prof Otib selanjutnya merekomendasikan, guru seharusnya: selalu memelihara diri dalam kepribadian beradab sebelum mendidik; memprioritaskan kegiatan penerapan adab dan budi pekerti sebelum memberikan pelajaran apapun; mencintai profesi guru sepenuh hati, setulus budi, tidak terpalingkan oleh apapun yang akan menurunkan kualitas layanan pendidikan; memiliki motivasi yang tinggi untuk mendidik dalam setiap keadaan, selalu fokus memperhatikan tumbuh kembangnya peserta didik selama melaksanakan proses pembelajaran; dan, memelihara kesadaran diri sebagai pendidik. 

Selanjutnya, pada orasi ilmiahnya Prof Iva berkesimpulan bahwa optimalisasi implementasi model asesmen untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di SD pada era merdeka belajar menuntut guru: (1) memiliki pengetahuan tentang asesmen; (2) memiliki kemampuan merancang, melaksanakan, dan memanfaatkan asesmen; (3) memiliki kemampuan menggunakan TIK; (4) memiliki kemampuan materi asesmen; serta (5) memiliki self efficacy belief dan motivasi kerja yang tinggi.

Dalam merancang asesmen, selain guru dituntut mampu merancang instrumen tes dan nontes, juga dituntut mampu merancang rubrik penilaian baik holistik maupun analitik. Dalam melaksanakan asesmen, guru dituntut mampu melakukan observasi dan melaksanakan feedback secara efektif. Sementara dalam memanfaatkan asesmen, guru dituntut mampu mengolah, menganalisis, dan menginterpretasikan data asesmen agar kelak anak terbebas dari segala kemungkinan kegagalan.

Dari beragam pandangan yang telah dikemukakan oleh ketiga guru besar baru UNJ pada pengukuhannya agar guru, orang tua dan masyarakat dapat menghindarkan anak dari segala kemungkinan kegagalannya. Kelihatannya kegagalan anak bersumber dari lima faktor berikut.

Pertama, adanya kegagalan pendekatan yang dilakukan oleh sekolah. Kegagalan itu dapat bersumber dari kontradiksi antara apa sesungguhnya yang diharapkan oleh anak dari sekolah dan apa yang diharapkan oleh guru terhadap anak. Kontradiksi ini apabila tidak teratasi maka penanaman nilai, sikap dan perilaku positif pada anak tentu sulit dicapai.

Kedua, adanya interaksi antara anak dengan guru yang jauh dari kaidah-kaidah pedagogik yang dapat mengakibatkan anak dilanda rasa cemas dan ketakutan akibat tuturan, sikap dan perilaku guru yang mungkin saja hal seperti itu tidak disadari. Anak perlu senantiasa diperdengarkan tuturan yang menyenangkan dan menggembirakan hatinya untuk maju.

Ketiga, adanya perkembangan kognitif dan kemampuan belajar anak yang tidak optimal sehingga terdapat kesenjangan antara apa yang anak ketahui atau serap dan apa yang seharusnya anak peroleh. Ibarat botol, terlihat hanya sedikit sekali bagian yang terisi air pada botol itu.

Keempat, adanya lingkungan sekolah yang tidak membahagiakan anak. Lingkungan sekolah tidak memungkinkan anak menikmati dirinya sebagai anak yang ingin bermain, lari, dan berinteraksi dengan teman kelasnya di alam terbuka. Di Singapura misalnya, meski negaranya amat kecil, sebanding satu kecamatan di Bogor, tapi sekolahnya memiliki lapangan sepakbola, memiliki taman yang luas, dsb.

Kelima, kelihatannya negara belum hadir untuk melakukan standarisasi sekolah. Dengan menggunakan delapan standar yang ada, akan terlihat, hanya di kisaran satu persen di antara lebih 400 ribu sekolah yang memenuhi standar internasional. 

Atas kerisauan untuk menghindari agar tidak ada anak yang gagal, UNJ sejak 1968, sudah mendirikan Sekolah Laboratorium untuk semua jenjang, mulai TK, SD, SMP hingga SMA yang tidak hanya dijadikan sebagai tempat praktik, penelitian pendidikan, dan pengembangan inovasi pendidikan tapi juga dapat dijadikan sebagai contoh di seluruh tanah air agar sekolah sungguh menjadi tempat yang membahagiakan bagi kesuksesan masa depan anak.

UNJ tentu akan terbuka bermitra dan bergandengan tangan dengan Pemda dan semua pihak terkait di seluruh tanah air untuk mereplikasi Sekolah Laboratorium ini sehingga kelak kita dapat mewujudkan bahwa sekolah-sekolah di tanah air menjadi surga bagi anak, tempat yang membahagiaan dan memberi harapan akan hari depan anak dan hari depan kita bersama sebagai satu bangsa. (*)

News Feed