English English Indonesian Indonesian
oleh

Paradigma Pancasila dan Krisis Ekologi-Lingkungan 

 Oleh: Mohammad Muttaqin Azikin

Pembelajar di Pascasarjana Pengelolaan Lingkungan Hidup UNHAS

Pada Juni di setiap awal bulan, kita memiliki dua momentum yang sangat penting. Yakni, Hari lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni serta Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni.

Ironisnya, mempercakapkan dua entitas atau dua topik yang teramat penting tersebut, tak pernah sungguh-sungguh dijadikan prioritas. Sebab itulah, tulisan sederhana ini, ingin mencoba mengaitkan keduanya, antara Pancasila dan krisis ekologi lingkungan.

Selama ini, menurut Prof. Kuntowijoyo, Pancasila baru dianggap efektif sebagai ideologi yang mempersatukan Indonesia secara politis. Tetapi, belum efektif sebagai ideologi ekonomi, sosial, budaya dan yang lainnya. Mengapa? Karena kita masih memahami Pancasila sebagai sebuah mitos. Dan karena itu, mistifikasi Pancasila tak terelakkan. 

Dalam realitas mistifikasi tersebut, pertanyaan reflektif yang penting diajukan, sudahkah kita telah melaksanakan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi secara benar? Apakah Pancasila telah dijadikan landasan etis di dalam kehidupan kita sebagai bangsa? Di bukunya Makna Pemerintahan Prof. Ryaas Rasyid mengatakan, sebagai suatu sistem kepercayaan dan ideologi, Pancasila hanya bisa bermakna jika nilai-nilainya tecermin di dalam tingkah laku abdi negara dan warga masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila seyogianya bersifat omnipresent

Idealnya, Pancasila hadir di dalam praktik kekuasaan negara, menjiwai setiap kebijakan pemerintah, menjadi landasan dalam berbagai interaksi politik, serta menyemangati hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan budaya bangsa Indonesia. Kalau gerakan memasyarakatkan Pancasila tidak secara konsepsional dan konsisten diarahkan pada perwujudan idealisme ini, niscaya bangsa Indonesia akan gagal mewujudkan cita-cita kemerdekaannya. Sebab itu, perlu selalu dijaga agar Pancasila tidak diturunkan derajatnya menjadi sekadar sebuah kata atau kumpulan kata-kata untuk penghias pidato, pelengkap suatu upacara atau menjadi bingkai untuk pengesahan sejumlah dokumen. Karena dengan perlakuan seperti itu, Buya Syafi’i Maarif mendaku: “Nasib Pancasila itu, hanya dimuliakan dalam kata, diagungkan dalam tulisan, namun dikhianati dalam perbuatan.”

Di Sulawesi Selatan, masalah lingkungan, sudah seperti ancaman laten yang tak pernah diperhatikan secara serius. Padahal, dalam Perda No.7 Tahun 2015 tentang RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025, begitu jelas disebutkan permasalahan pembangunan pada bidang lingkungan hidup, di antaranya; menurunnya kualitas  lingkungan pada semua DAS (Daerah Aliran Sungai) dan mayoritas kawasan pesisir yang ada di Sulawesi Selatan, terutama disebabkan oleh maraknya pembukaan lahan yang semakin tidak terkendali. Kerusakan ekosistem pada kawasan pesisir dan juga yang terjadi di hulu DAS, kawasan hutan mangrove yang berkurang dengan cepat karena dikonversi. Di samping itu, erosi yang berkepanjangan pada hampir semua sungai besar maupun kecil, yang menimbulkan dampak negatif berupa proses sedimentasi.

Mencermati krisis ekologi lingkungan tersebut, maka dibutuhkan sebuah paradigma yang tepat dalam menanganinya. Apalagi, orientasi pengelolaan lingkungan hidup kita pasca terbitnya UUCK (Undang-Undang Cipta Kerja), telah mengalami pergeseran paradigma, yang sepertinya mengangkangi tujuannya di Pasal 3 UU.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, demi kepentingan investasi. Hal ini sekaligus menegaskan dan mengkonfirmasi betapa kesinambungan pembangunan di negeri ini masih sebatas retorika belaka.

Posisi paradigma merupakan hal yang sangat fundamental, dan mesti mengawali upaya-upaya praktis dalam menyelesaikan berbagai problem lingkungan yang terjadi. Bukankah masalah lingkungan selama ini, tidak bisa dilepaskan dari cara pandang manusia?  Dari sejak Ekologi Dangkal (Shallow Ecology) yang menganut pandangan dunia bercorak antroposentrisme dan mekanistik, lalu Ekologi Dalam (Deep Ecology) dengan karakter ekosentris, yang memandang manusia sebagai bagian integral tak terpisahkan dari alam kosmos. Sementara, Ekologi Sosial (Social Ecology) berpandangan bahwa eksploitasi manusia terhadap alam bukanlah produk dari kerangka pikir antroposentris, melainkan manifestasi dari dorongan yang bertanggung jawab terhadap praktik penindasan manusia oleh manusia. Sementara, Ekofeminisme menuding budaya patriarkal Barat yang mengeksploitasi wanita dan alam, sebagai akar penyebab kerusakan lingkungan.

Lantas pertanyaannya? Mengapa Pancasila yang memiliki nilai-nilai luhur tidak diposisikan sebagai paradigma, tidak dijadikan sebagai spirit dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kita? Apalagi, Pancasila telah menjadi dasar falsafah negara (Philosophische grondslag), ideologi negara, pandangan hidup bangsa (Weltanschauung), serta kaidah fundamental negara Indonesia.

          Menurut Seyyed Mohsen Miri, secara garis besar terdapat paling tidak dua pendekatan yang digunakan sebagai solusi untuk mengatasi krisis ekologi-lingkungan. Pertama, pemecahan krisis melalui pertimbangan atas segala sesuatu yang langsung terlihat, situasi yang sedang berlangsung, membuat perubahan jangka pendek dan perencanaan ulang. Kedua, pemecahan krisis melalui penjabaran sebab dan faktor yang mendorong munculnya krisis (aspek ontologis), melalui dasar keilmuan (aspek epistemologis), kerangka rohani dan intelektual serta paradigma budaya yang menyebabkan krisis tersebut terjadi, dengan tetap mengacu kepada pendekatan pertama. Dalam konteks pendekatan kedua inilah, Pancasila penting diletakkan sebagai paradigma alternatif dalam pemecahan krisis ekologi-lingkungan, yang bukan tak mungkin bisa melahirkan sebuah pendekatan baru berupa “Ekologi Pancasila” di Indonesia. Wallahu a’lam bisshawab.   

News Feed