Oleh: Aswar Hasan
Selamat Hari Bhakti Adhyaksa ke-64. Semoga segenap jajaran kejaksaan tetap mempertahankan dan meningkatkan kinerjanya yang dicapainya selama ini. Ketua Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas Hukum Unhas Fajlurrahman Jurdi , menilai penegakan hukum yang kejaksaan akhir-akhir ini memang jatuh lebih baik. Banyak kasus besar diungkap (Fajar, 22 Juli 2024).
Merujuk hasil survei tatap muka Litbang Kompas, citra Kejaksaan cenderung positif di mata publik. Survei periode Juni 2024 merekam, citra positif Kejaksaan berada di angka 68,1 persen. Penilaian publik ini sekaligus menjadi yang tertinggi dalam dua tahun terakhir. Sebelumnya, citra Kejaksaan sempat menyentuh titik terendahnya pada Oktober 2022 yakni di angka 52 persen (Kompas, 22 juli 2024).
Jika mengacu data Indonesia Corruption Watch, dibandingkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian, Kejaksaan menjadi lembaga penegak hukum yang paling banyak menangani kasus korupsi sepanjang tahun 2023.
Dari segi jumlah, sebanyak 551 kasus ditangani Kejaksaan. Angka ini lebih banyak dibandingkan kepolisian yang menangani 192 kasus ataupun KPK dengan 48 kasus yang ditangani. Dari sisi jumlah tersangka yang ditetapkan pun paling banyak, yakni 1.163 tersangka. Di sisi lain, sepanjang 2023 kepolisian hanya menetapkan 385 tersangka dan KPK menetapkan 147 tersangka.
Tak hanya dari jumlah kasus dan tersangka, taksiran kerugian negara dari kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan pun mencapai Rp26,7 triliun pada tahun 2023. Angka ini menjadi yang tertinggi dibandingkan kerugian negara akibat korupsi yang ditangani kepolisian (Rp960 miliar) dan KPK (Rp705 miliar).
Jika melihat dan mencermati ketiga institusi negara yang fokus dalam penegakan hukum itu, dibandingkan dengan kinerja mereka masing-masing maka setidaknya kita bisa mengambil kesimpulan awal bahwa penyebabnya lebih diutamakan oleh faktor prestasi kepemimpinan pada institusi masing-masing. Betapa tidak, karena ketiga lembaga itu telah masing-masing difasilitasi oleh negara. Jadi terpulang pada bagaimana mengelola lembaga tersebut. Dengan demikian lebih tergantung pada leadership masing-masing institusi.
Saat ini, bandul harapan publik bergeser dari kepolisian dan KPK menuju kejaksaan khususnya tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang makin marak terjadi. Sementara, kinerja lembaga yang punya kewenangan untuk itu, semakin melempem. Jadi, ini masalah bangsa ke depan.
Baik tidaknya kinerja institusi penegakan tersebut, sangat tergantung pada idealisme, komitmen, dan kapasitas kepemimpinan pada institusi bersangkutan sebab dari segi kapasitas dan back up lembaga sudah memadai untuk bertindak. Tinggal faktor kapabilitas SDM intitusi bersangkutan. Terpulang dari ke semua itu, kembali pada ada tidaknya political will dari negara, yang diwakili oleh institusi masing-masing.
Jika mencermati performa masing-masing lembaga negara yang diberi kewenangan dalam menegakkan hukum di negara ini, maka publik tidak boleh berharap banyak pada lembaga negara yang diberi amanah untuk mengontrolnya, seperti legislatif (DPR RI) bahkan, mereka (Anggota DPR) tersebut bagian dari masalah.
Jadi, publik melalui penilaian pencitraan di media massa, oleh publik dianggap penting. Oleh karena itu, penting perihal reward dan punishment oleh publik terhadap mereka. Bagaimana wujud reward dan punishment itu? Itulah yang perlu jadi pemikiran ke depan. Dan, tulisan ini merupakan salah satu bagian dari upaya menilai citra mereka. Wallahu a’lam bisawwabe.