Seringkali seseorang dikatakan sukses apabila ia memiliki harta dan kehidupan yang serba cukup. Dengan memiliki harta, membuat si Sultan dapat terus bertahan hidup tanpa harus bekerja keras. Sebagian besar kondisi tersebut didukung karena adanya kekuatan finansial yang datang dari pendapatan pasif atau passive income yang diperoleh dari investasi. Sebaliknya tidak sedikit orang-orang berpenghasilan tinggi yang tetap merasa tidak kaya sebab gaya hidupnya memengaruhi cara mereka menggunakan kekayaannya.
Beberapa dekade yang lalu, orang kaya biasanya hanya dimiliki kelas umur baya. Kalaupun ada anak muda kaya, kekayaannya di dapatkan dari bokapnya. Berbeda dengan anak-anak milenial sekarang, mereka terobsesi untuk cepat menjadi sukses dalam hidupnya dengan berusaha memperbanyak usaha menjadi Sultan. Kelompok generasi ini diuntungkan karena lahir di era disrupsi, era dimana terjadinya perubahan masif yang mengubah sistem dan tatanan bisnis yang lebih baru dan mudah. Era ini juga mengubah wajah teknologi informasi maju pesat berkembang menjadikan dunia tanpa batas setelah teknologi digital semakin maju.
Kemudahan-kemudahan inilah yang membuat anak milenial memiliki banyak kesempatan dan banyak kemudahan untuk mengakses berbagai informasi penting termasuk dalam mencari peluang bisnis. Sehingga tidak heran era sekarang ini memunculkan banyak anak muda menjadi mapan. Mereka belajar berbisnis dari berbagai cara terutama info dari internet yang membuat mereka bisa membangun beragam inovasi yang ditunjang mitra yang luas.
Sayang keberhasilan secara finansial kadang tidak sejalan dengan hidup sejahtera nan nyaman yang ingin digapai. Tidak sedikit setelah mapan, mereka lupa diri. Cenderung lebih berperilaku konsumerisme, lifestyle yang tidak didasari atas kebutuhan yang realistis, sehingga keputusan dalam membeli suatu produk demi memenuhi keinginan tidak rasional. Nafsu praktik konsumsi kelompok anak milenial mulai berkembang seiring dengan kritik terhadap budaya konsumerisme. Persoalan tersebut mencakup karakter masyarakat konsumen sebagai konsekuensi logis dari kapitalisme tingkat lanjut yang melahirkan identitas baru bagi masyarakat modern. Tidak terkecuali kelompok anak muda milenial yang terbantu dengan kondisi munculnya era disrupsi.
Sebagaimana diketahui, media massa memegang peran penting terhadap fenomena konsumerisme. Representasi tentang budaya konsumsi oleh generasi milenial didapatkan melalui media digital dengan munculnya berbagai iklan yang memikat atau lewat tontonan film, hingga suguhan konten media sosial yang sangat persuasif. Imbasnya, anak milenial yang gampang gamang menjadi konsumtif dan demam konsumerisme masuk dalam mimpi-mimpi mereka dengan mengejar prestise lewat usaha yang menghasilkan income, seperti bisnis atau bergelut di dunia media sosial yang bisa menarik cuang ke kantong mereka. Pada akhirnya mereka tidak saja membeli materi, tetapi juga mengkonsumsi simbol untuk membeli prestige, gengsi, status. Mereka tidak sekadar membeli barang atau jasa, melainkan juga nilai dan simbol dari barang tersebut. Simbol menjadi lebih penting untuk mengangkat status sosial.
Selain konsumerisme, perilaku anak muda sekarang juga nyaris terkikis rasa solidaritas di antara mereka. Walaupun solidaritas masih ada di sebagian mereka karena adanya pertemanan yang muncul sebagai akibat adanya keterikatan yang membuat mereka merasa satu nasib berwujud timbulnya perasaan setia kawan. Ironisnya, yang mengemuka justru solidaritas yang diatasnamakan untuk melakukan hal negatif. Ketika terjadi pertikaian antar kelompok, solidaritas muncul sebagai arogansi untuk membuat hal-hal negatif. Sayangnya mereka melupakan silaturrahim sebagai wujud solidaritas positif yang dapat menularkan kebaikan dan menumbuhkan perasaan saling percaya serta mendorong untuk bisa saling membantu satu sama lain dalam kebaikan. Wallahu a’lam