Ia menjelaskan, Pasal 11 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji disebutkan besaran pengeluaran untuk penyelenggaraan ibadah haji ditetapkan oleh pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR.
“Kemudian di Pasal 16 juga disebutkan besaran persentase nilai manfaat keuangan haji ditetapkan setiap tahun oleh BPKH setelah mendapat persetujuan dari DPR. Lalu ada di Pasal 26 huruf e BPKH wajib melaporkan pelaksanaan pengelolaan keuangan haji secara berkala setiap 6 bulan kepada Menteri dan DPR. Terakhir, di Pasal 54 disebutkan pengawasan eksternal BPKH dilakukan oleh DPR,” bebernya.
Makanya, lanjut Wisnu, klaim yang menyebut kewenangan pengaturan kuota haji tambahan mutlak pada Menteri Agama sehingga tidak perlu memperoleh persetujuan DPR tidak tepat dan tidak berdasar. (amr)