Ironisnya karena upaya untuk mengungkap tabir pembunuhan korban, justru semakin redup dan nyaris diabaikan dengan pendaulatan sejumlah saksi dadakan sebagai patriot kepentingan terduga pelaku. Malah mulai muncul ide untuk menghilangkan isu pembunuhan dengan merekonstruksi peristiwa itu sebagai kasus kecelakaan lalu-lintas. Mereka mendekonstruksi semua testimoni yang tertuang dalam putusan pengadilan yang telah inkrah sebagai kesaksian palsu dan penuh rekayasa, padahal sejumlah saksi yang berhasil mereka mobilisasi bisa jadi merupakan hasil indoktrinasi membangun militansi, demi menyukseskan viktimisasi berganda.
Sampai di sini kita dapat memahami bahwa kasus pembunuhan Eky dan Vina yang tragis diwarnai dengan fenomena memprihatinkan, dimana korban, alih-alih mendapatkan perlindungan dan empati, justru mengalami sebaliknya. Media massa dan media sosial, yang seharusnya menjadi platform untuk menyuarakan keadilan bagi korban, justru terkesan tergiring opini sejumlah advokat terduga pelaku.
Untuk memahami fenomena ini, kita perlu menengok pada teori labelling yang dikemukakan oleh Howard S. Becker (1963). Teori ini menjelaskan bagaimana individu atau kelompok tertentu didefinisikan dan dilabeli sebagai “deviant” atau “penjahat” melalui proses sosial yang kompleks. Dalam kasus Eky dan Vina, viktimisasi berganda dapat dilihat sebagai hasil dari proses pen labelling yang tidak adil.
Pertama, media massa dan medsos, terpengaruh oleh narasi yang dibangun oleh advokat terduga pelaku, secara konsisten menampilkan informasi yang mendiskreditkan korban. Hal ini dapat berupa pemberitaan tentang masa lalu korban yang kelam, spekulasi tentang motif tersembunyi korban, atau bahkan serangan personal terhadap karakter korban. Kedua, publik, terpapar informasi yang bias secara berulang, mulai menginternalisasi citra negatif korban, yang kemudian digunakan untuk melegitimasi viktimisasi berganda dengan dalih bahwa korban “tidak sepolos” seperti yang digambarkan sebelumnya.