Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf
(Tim Pengembangan Strategis dan Akselerasi Kinerja Universitas Hasanuddin – Tim PaSAK Unhas)
HARIAN.FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Pemilu presiden Amerika Serikat (AS) menarik untuk diamati mengingat perubahan kebijakan ekonomi AS akan berdampak langsung terhadap Emerging Market Economies (EMEs), termasuk Indonesia.
Dua kubu yang bersaing, kubu Republik yang diwakili Donald Trump dan kubu Demokrat diwakili Joe Biden (mengundurkan diri) memiliki orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda terhadap beberapa isu utama, seperti nilai tukar, suku bunga, pajak, pelayanan kesehatan dan lainnya.
Salah satu isu yang menarik adalah soal kebijakan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama dunia. Bagi Trump, kebijakan strong dollar tidak menguntungkan karena mengurangi daya saing produk manufaktur AS di pasar global dan menaikkan defisit perdagangan AS terhadap sejumlah negara, khususnya China.
Kubu Trump, jika terpilih lagi untuk kedua kalinya, akan terlibat perang dagang dengan China sebagai pesaing utama AS. Pemerintahan Trump akan membuat nilai tukar dollar AS terdepresiasi terhadap mata uang utama dunia, seperti yuan China, yen Jepang, Euro, poundsterling Inggris dan lainnya.
Namun demikian, sejumlah ekonom, seperti Maurice Obstfeld, ex chief economist International Monetary Fund (IMF) menganggap bahwa kebijakan ekonomi Trump bertentangan satu satu sama lain.
Sebagai contoh, Trump berusaha membuat dollar AS melemah tetapi pada saat yang sama akan mengenakan bea masuk impor tinggi yang akan mengurangi impor, menaikkan ekspor dan membuat surplus pada current account. Pada akhirnya, kebijakan ini akan membuat dollar AS menguat.