Oleh: Aco Lenggoq Dg Kulle, Peneliti
Sejak beberapa minggu, di berbagai grup WA dan Sosmed lain bergulir berita bahwa di Tana Beru, kampung kecil dekat Bulukumba di Sulawesi Selatan sana, ada sebuah perahu pinisi yang mau dibakar, sebagai protes terhadap ketidakpedulian khalayak akan Warisan Dunia Takbenda UNESCO, ‘Kesenian Pembuatan Perahu di Sulawesi Selatan’. Kita memang heran – bukankah semua orang tahu bahwa phinisi-lah telah menjadi warisan dunia, dan tidaklah kita pun betul bangga padanya?
Mungkin perlu keterangan sedikit tentang latar-belakang isu miring ini. Yang pertama, model perahu yang mau dibakar ini bukan semegah kapal hotel terapung phinisi yang menjadi angan-angan liburan idaman orang banyak itu. Dia agak kecil, rendah dan kurus saja. Di atasnya tidak dilihat susunan berbagai lantai kamar ber-AC, melainkan dua batang tiang tinggi saja, serupa dengan perahu-perahu yang terdapat pada foto-foto buram zaman dahulu. Yang dijuluki ‘pinisi’ di perahu itu pun hanya jenis layarnya, sementara tipe lambungnya konon disebut ‘palari’.
Na, ceritanya, dahulu para pelaut dan pengrajin perahu memang begitu, menamakan lambung perahu dengan satu istilah, dan punya nama yang berbeda untuk jenis layar yang dipasang di atasnya. Untung hal-hal aneh seperti itu kini sudah tidak laku lagi: Kita semua ‘kan tahu bahwa phinisi yang benar ialah kapal-kapal turis yang dibangun di Tana Beru itu, atau sama dengan phinisi-phinisi para nelayan Galesong atau Pangkep di pesisir Pulau Sulawesi situ.
Dan juga, perahu itu pasang delapan, bahkan sembilan helai layar, seolah-olah yang membangunnya –atau, yang memotret berbagai teladannya sekian puluh tahun silam – tidak pernah dengar bahwa phinisi harus pakai tujuh layar saja, karena tujuh samudera itu, seperti Samudera India, Atlantik, Pasifik dan empat samudera lain yang sedang tidak saya ingat namanya.
Lagi, phinisi beneran ‘kan tak usah pakai layar: Ada mesinnya! Di Tana Beru atau Galesong ada banyak kapal phinisi yang bahkan tidak ada tiangnya, jadi secara otomatis juga tidak ada layarnya dong. Yang benar bisa kita saksikannya di phinisi-phinisi wisata sunset cruise di Makassar: Tidak pernah dilihat layarnya, tetapi saban sore para pencinta budaya bahari yang diantarkannya putar-putar di pelabuhan sambil makan, minum dan bernyanyi di atasnya. Apalagi kalau kapal-kapal carteran turis mewah di Labuhan Bajo atau Raja Ampat yang sudah sering menjadi wahana liburan para selebriti kita, dari Ayu Ting Ting sampai Bunga Citra Lestari! Yang begitulah dimaksudkan dengan merayakan warisan dunia phinisi!
Sebaliknya dengan perahu yang mau dibakar itu – tidak ada mesinnya, layar saja, seolah-olah kita masih di zaman batu. Apalagi, tanpa kamar dengan penyejuk udara dan tempat tidur yang empuk, atau meja bar di mana kita bisa duduk santai sambil meneguk segelas minuman dingin. Katanya, tidak ada karena dulu semua itu memang tidak ada di atas perahu. Apa, dulu: Kita hidup di abad ke-21, dan untuk apa mau menderita di laut seperti nenek moyang kita? Ibaratnya, kita sudah ada mobil, maka untuk apa mau naik sepeda?
Pasti sudah Anda sangka: Perahu aneh itu tidak dibuat oleh orang kita, tetapi seorang bule. Katanya, mau dijadikan sekolah belajar melayarkan perahu sambil mengadakan survei budaya dan sejarah dan kegiatan sosial ini-itu. Belajar berlayar, kita-kita ini, anak-cucu pelaut memang, di atas perahu tanpa motor dan kamar-kamar nan nyaman? Mana dong – kalau naik phinisi betulan ‘kan pasti ada mesin dan orang yang menjalankannya serta ruangan lengkap dengan pendingin udara dan pelayanan makanan enak, sehingga kita bisa menikmati warisan nenek moyang kita tanpa harus repot pindahin layar kiri-kanan, naik-turun di tiang dan gangguan macam-macam lainnya.
Jadi, jelas tidak laku perahu itu, biar si bule dan teman-temannya mau menawarkan ke mana pun. Katanya sudah tanya kiri-kanan, dari Bulukumba sampai Jakarta, tetapi tidak ada yang mau mendukungnya.Tahun lalu sih konon ada, dan perahu itu sepertinya antar buku ke pulau-pulau di Makassar dan berlayar ke IKN, ikut perayaan apa di Balikpapan sana, tetapi ya apalah gunanya itu? Kalau memang sudah tidak ada yang berlayar pake angin saja, untuk apa perlu belajar berlayar? Melestarikan pengetahuan berlayar para pelaut Bira yang katanya menjadi sebagian dari Warisan Dunia UNESCO itu? Itu ‘kan urusan orang Bira, dong, bukan kita-kita ini yang semua sudah pasti cinta phinisi!
Dan jelas juga: Apa urusannya, misalnya, Pemerintah Kabupaten Bulukumba atau berbagai kumpulan dan kantor pengurus kebudayaan dengan Warisan Dunia UNESCO itu? Itu urusan UNESCO sendiri, bukan. Lagi, yang digelar sebagai warisan oleh orang-orang asing itu hanya yang mereka namakan ‘intangible’, takbenda, yaitu pengetahuan pembuatan perahu dan tradisi melayarkannya, sementara kita semua tahu bahwa warisan dunia yang sebenarnya adalah kapal phinisi yang dipakai melancong dan berpelesir itu.
Contohnya gampang. Menurut si bule dan teman-temannya itu, salah satu inti sari ‘warisan’ UNESCO itu adalah semacam rancangan pembuatan perahu yang diciptakan nenek moyang orang para pengrajin kapal di Tana Beru. Namanya tatta, dan konon itu seroma dengan gambar rencana konstruksi perahu. Bila ditanya bagaimana bentuknya, mereka akan berbelit-belit, menerangkan ini-itu, dari nama-nama papan kayu lambung perahu dan letak dan bentuknya masing-masing, sampai menunjukkan batang-batangan bambu dengan berbagai tanda yang terukir ke dalamnya. Konon perahu yang mau dibakar ini juga mengikuti reka-rekaan yang garib itu. Mana mungkin yang berselok-belok dan rumpil ‘gitu bisa dijadikan warisan apalah itu: Kita semua sudah tahu bahwa perahu terbuat dari papan-papan kayu, dan yang membuatnya ‘kan orang kampung, bukan para akademisi seperti si bule itu!
Memang, sepertinya nekat betul bule yang satu ini. Akan tetapi, siapa suruh dia buat replika perahu historis Sulawesi Selatan? Katanya untuk mendokumentasikan Warisan Dunia Takbenda UNESCO itu, dan nanti mau dijadikan pameran dunia maya yang diinisiasi British Museum di Inggris sana. Na, biar museum itu konon salah satu museum terbesar dan tertua dunia, tetapi apa ya urusan orang Inggris dengan warisan dunia Sulawesi Selatan?
Pasti jawabannya bahwa dokumentasi yang direkam selama setahun itu nanti dapat diakses secara bebas dan gratis oleh satu umat manusia semua. Tetapi bagaimana pun, kini kan orang tidak lagi membutuhkan perahu historis-historis itu – yang laku memang itu, kapal turis phinisi, warisan sedunia Sulawesi Selatan, bukan perahu orang dulu. Jadi, tak laku juga perahu yang satu itu, dan sudah jelas bahwa dia dan teman-temannyalah semestinya menelan sendiri segala akibat dari kenekatan membangun perahu tua-tua itu.
Dan lagi: Sekarang perahu itu mau dibakarnya? Kebanggaan bangsa itu mau dia musnahkan begitu saja? Jelas, keterlaluan. Awalnya buat perahu tanpa guna, lalu menangis dan mengemis kiri-kanan, dan akhirnya ancam kita macam-macam.
Mestinya perahu itu kita rebut, lalu menyimpannya di sudut pelabuhan Tana Beru sana, bersama dengan bangkai-bangkai perahu tua lain di situ, agar dia dan segala kegoblokannya itu masuk keranjang sampah sejarah!*