Dalam Peraturan BPOM, batas maksimum migrasi masing-masing zat kimia tersebut sudah ditetapkan, yaitu EG dan DEG 30 bpj, Asetaldehid 6 bpj, dan PC 0,6 bpj.
“Jadi, batasan migrasi zat-zat kimia berbahaya dari kedua jenis kemasan plastik itu sebenarnya kan sudah diatur secara komprehensif dalam Peraturan BPOM itu,” ucapnya.
Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Prof. Dedi Fardiaz, menyampaikan bahwa mengenai migrasi dari zat kontak pangan ke produk pangannya itu sudah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.
“Di sana semua jelas sekali dipaparkan. Peraturan BPOM itu menyebutkan beberapa yang wajib dilakukan label bebas dari zat kontak pangannya itu tidak hanya kemasan berbahan PC yang mengandung BPA saja.
Tapi juga produk lainnya seperti melamin perlengkapan makan dan minum, kemasan pangan plastik polistirena (PS), kemasan pangan timbal (Pb), Kadmium (Cd), Kromium VI (Cr VI), merkuri (Hg).
Lalu kemasan pangan Polivinil Klorida (PVC) dari senyawa Ftalat, kemasan pangan Polyethylene terephthalate (PET), juga kemasan pangan kertas dan karton dari senyawa Ftalat.
Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), Akhmad Zainal Abidin, mengatakan bahwa semua unsur pembentuk bahan kemasan makanan dan minuman itu berbahaya bagi kesehatan manusia.
Dia mencontohkan kemasan PET yang mengandung EG dan DEG, PC mengandung BPA, PVC mengandung PCM, bahkan kertas ada juga yang mengandung unsur berbahayanya. “Zat-zat kimia itu semua harus sama-sama diamankan, sehingga masyarakat terbebas dari hal-hal yang berbahaya,” ucapnya.
Untuk plastik misalnya, menurut Zainal, sebenarnya yang berbahaya itu bukan plastiknya melainkan bahan lain yang bukan plastik yang ada di dalam plastik itu. “Itu kan sebenarnya bahan baku, cuma tidak 100 persen bahan bakunya terproses.