Awalnya pembacaan tuntutan diagendakan Kamis, 4 Juli, namun ada kendala. Sehingga diagendakan ulang dan dibacakan pada Senin, 8 Juli.
“Sidang lanjutan akan digelar Kamis, 18 Juli. Agendanya adalah pembelaan dari terdakwa,” kata Soetarmi, Selasa, 16 Juli 2024.
Humas PN Makassar, Sibali menuturkan mengatakan pihakanya belum mengecek perkara tersebut. Namun untuk memastikannya bisa di lihat di web resmi PN Makassar. “Untuk mengetahui perkembangan perkara bisa pantau SIPP PN Makassar,” ujarnya.
Kasus ini berawal pada tahun 2015 silam. Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWS) melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng, Wajo. Lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng di antaranya terdapat lahan yang masih masuk dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Laparepa dan Lapantungo. Letaknya di Desa Passeloreng, Kabupaten Wajo, yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai kawasan HPT.
Selanjutnya dilakukan proses perubahan kawasan hutan dalam rangka review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulsel. Salah satunya untuk kepentingan pembangunan Bendungan Panselloreng. Pada 28 Mei 2019 terbit surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 91.337 hektare. Perubahan fungsi kawasan hutan seluas 84.032 hektare dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 1.838 hektare di Sulsel.
Setelah mengetahui adanya kawasan hutan yang dikeluarkan untuk kepentingan lahan genangan bendungan Paselloreng maka tersangka AA memerintahkan honorer BPN Wajo membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) sebanyak 246 bidang tanah. Selanjutnya 15 April 2021, lalu SPORADIK tersebut diserahkan kepada tersangka kepala Desa Paselorang dan kepala Desa Arajang ditandatangani. Isi Sporadik diperoleh dari informasi dari tersangka lain selaku anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat dan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Tindakan tersebut merugikan negara Rp75,63 miliar. Nilai tersebut merupakan hasil perhitungan BPKP Sulsel. (edo)