M. Qasim Mathar
Warga WhatsApp (WA) atau netizen sama dengan citizen (warga negara) terdiri tidak hanya satu macam atau corak. Seperti citizen ada beraneka suku, golongan, dan kelompok ideologis, pada netizen (warga WA) keberanekaan demikian juga ada. Tetapi, karena netizen menggunakan media handphone (HP), yang sifatnya berjejaring dan komunikatif, membuat di antara netizen ada yang berbudaya mau sebagai “yang paling pertama” menyiarkan berita (info) yang terbaca di layar HP.
Budaya mau sebagai “yang paling pertama” menyiarkan info, melahirkan istilah yang biasa terbaca di HP “Diteruskan” atau “share sesegeranya agar semua warga mengetahuinya”… Ada yang dikasih bumbu: … “kalau dishare, anda akan mendapatkan rezeki yang banyak tak terduga”, atau “kalau tidak diteruskan atau dishare, anda bisa dapat celaka”. Sesungguhnya bumbu itu adalah bohong, tapi terpsikologis (terpengaruh) bagi yang tipis iman.
Budaya “Diteruskan”, “Silakan share” atau “siarkan seluas-luasnya” membuat suatu kabar dan isu menyebar dan terbaca secara masif. Tentu tidak semua netizen berbudaya mau disebut sebagai “yang paling pertama” mengetahui dan meneruskan (mengshare) kabar dan isu tersebut. Yang berbahaya ialah jika budaya “Diteruskan”, “silakan share”, dan “siarkan seluas-luasnya” tidak dikonfirmasi lebih dahulu.
Begitulah beberapa hari lalu, sebuah video menunjukkan kejadian di Bandara Hasanuddin. Beberapa tentara berbicara lantang dan bertindak keras kepada seorang muda yang duduk di belakang setir mobilnya, seolah tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh tentara itu. Akibatnya, ia mendapat perlakuan kasar oleh tentara itu. Melihat video itu, sungguh menjengkelkan, “tentara kita sebagian sudah ikut makan uang haram, jadi bertindak kasar begitu”, kata satu komentar dari netizen. “Sebarkan seluasnya berkali-kali, agar kapok para prada itu”, komentar lainnya.
Ada juga sahabat saya mendorong agar video itu disebarluaskan dan “Diteruskan”. Tetapi saya minta, jangan, sebaiknya ketahui dahulu apa masalahnya? Karena, menurutku, banyak sekarang video dikirim tapi di desain sesuai keinginan pembuat/pengirim video.
Seorang sahabat lainnya mengonfirmasi adegan di video itu: “Tabe, ini sudah berdamai. Menurut informasi dari saksi yang melihat kejadian ini bahwa sopir ojol itu memarkir kendaraan pada tempat yang dilarang. Anggota TNI yang bertugas di tempat itu menegurnya. Tetapi sopir ojol tersebut tidak mengindahkan teguran itu sehingga terjadilah kejadian itu. Mereka sudah berdamai dan diliput media TV. Video tidak memberi info yang utuh. Mungkin didesain untuk merusak citra seseorang atau kelompok tertentu. Desain begitu bisa mengubah image, orang yang salah, justru dikasihani, dan sebaliknya. Orang yang benar digambarkan zalim, gara-gara rekayasa video.
Peringatan Al-Qur’an agar bertabayyun bila mendapat berita yang heboh, ternyata tetap dan semakin relevan diamalkan; apalagi di tengah budaya netizen yang mau disebut sebagai “yang paling pertama” tahu dan men-“Diteruskan”… tanpa bertabayyun!