English English Indonesian Indonesian
oleh

Hilangnya Pesona Makassar?

Oleh: Nasrullah Mappatang/ Alumni Fakultas Sastra Unhas

Sebentar lagi Makassar dan Sulawesi Selatan akan melakukan suksesi kepemimpinan. Mampukah rakyat Makassar dan Sulsel memilih pemimpin terbaik yang akan membawa kesejahteraan dan kemakmuran berkeadilan di wilayah ini?

Suksesi kepemimpinan setiap lima tahun sejak reformasi bergulir di Indonesia merupakan cara bagaimana rakyat “menyeleksi” dan “memilih” pemimpin terbaik. “Fiksi” demokrasinya begitu. Namun, sistem demokrasi sebagai cara rakyat Makassar dan Sulsel memajukan daerah dan kualitas kehidupan rakyatnya adalah suatu tantangan tersendiri.

Terlebih, jika mengacu pada indikator kuantitatif dan kualitatif nasional dan kawasan Asia Tenggara, Makassar terkesan semakin kehilangan pesona. Sulsel secara umum juga begitu. Salah satu indikatornya adalah tingginya angka migrasi atau merantau internal dan regional dari daerah ini. Bukan sebagai budaya, tapi karena terpaksa, oleh desakan ekonomi. Artinya, daerah ini, bersama pemimpin yang dihasilkan dari suksesi demokrasi lima tahunan, “gagal” menekan angka “migrasi terpaksa” ini.

Jejak historis

Makassar dalam sejarah Nusantara dan Asia Tenggara modern tercatat dalam satu aliran sejarah yang panjang sebagai satu kawasan yang pernah memimpin bangsa – bangsa di sekitar khatulistiwa Asia Tenggara. Pasca kejatuhan Malaka pada abad ke-16, tepatnya 1511, Kepulauan Nusantara menjadi titik – titik eksodus para peniaga rempah yang tak rela diinjak Portugis di Bandar terbesar Selat Malaka pada masa itu. Makassar pun muncul sebagai pemain utama pelabuhan sekaligus kota dagang kosmopolit di masanya (Anthony Reid, 2000; Clulow and Mostert, 2018; Bowring, 2019). Dari para ilmuwan dan sejarawan, dikatakan bahwa hanya Aceh dan Banten yang mampu mendekati “pesona” Makassar pada masa keemasan rempah di Kepulauan Nusantara – Asia Tenggara kala itu.

Adalah dua nama yang dicatat oleh Anthony Reid (2000) dalam karya monumental Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia, yaitu Matoaya dan Pattingalloang. Dua Karaeng ini adalah peletak dasar dan pembangun pesona Makassar sebagai suatu imperium agung di masanya, setara dengan kota – kota niaga di Tiongkok, serta Venesia, dan Amsterdam di Eropa. Kosmopolitanisme Makassar tersebut hadir karena adanya faktor eksternal berupa berkembangnya ekonomi rempah global dan kompetennya pemimpin yang dimilikinya.

Olehnya, kompetensi pemimpin adalah syarat utama yang tak bisa ditawar – tawar dalam kemajuan suatu wilayah dan kemakmuran kehidupan bangsanya. Sebab, di masa pesona Makassar begitu berkilau di bawah kepemimpinan Karaeng Matoaya dan Karaeng Pattingalloang, kota – kota kerajaan di Nusantara seperti Palembang, Banjarmasin, Kutai, Banten, Aceh, Ternate, dan Tidore juga menawarkan diri kepada peniaga – peniaga antarbangsa pada masa itu. Akan tetapi, Makassar lah yang dipilih. Salah satu faktor kuatnya adalah karena kualitas dan kapasitas pemimpinnya yang memberikan jaminan rasa aman dan kepercayaan pelayanan berniaga kepada para peniaga yang beterbangan keluar dari Malaka.

Kunci kepemimpinan

Hilmar Farid, Sejarawan, dan Dirjen Kebudayaan Indonesia saat ini dalam sebuah film dokumenter tentang “Kejayaan Makassar” mengagumi “kosmopolitanisme” Makassar di abad ke-17 (Melawan Lupa – Metro TV, 2017). Bahkan, Makassar disebut sebagai kota atau bandar terbesar di Kepulauan Melayu/ Nusantara dan Asia Tenggara di masa itu. Dikatakan, setelah kejatuhan Malaka, hanya Aceh dan Banten yang mendekati kebesaran dan pesona Makassar di abad era 1600 an sampai kejatuhannya pada paruh kedua abad tersebut.

Pesona dan Kejatuhan Makassar pun mendapat perhatian serius oleh Hilmar Farid di masa harumnya jalur rempah era itu (Dekolonisasi Jalur Rempah, BPCB Kaltim, 2020). Kemilau pesona dan keruntuhan Makassar di masa kejayaan rempah tersebut bukan hanya karena adanya faktor VOC. Ataupun, keterlibatan Bone dan sekutunya dalam menentang Gowa – Tallo (Makassar) sebagai kekuatan terbesar di Kepulauan Nusantara zaman itu. Tapi, kompleksitas keadaan dan tantangan yang tidak mampu ditangani secara bersamaan oleh pemimpinnya. Kuncinya adalah kapasitas kepemimpinan dan kecakapan mengatasi keadaan di dalam dan dari luar. Artinya, sekali lagi, tentang kapasitas dan kualitas kepemimpinan (leadership).

Maknanya, pelajaran berharganya adalah bukan saja bagaimana membangun suatu kebesaran ataupun pesona yang menyilaukan dan membanggakan yang menjadi penting. Akan tetapi, bagaimana mempertahankannya. Terutama, ketika kompleksitas keadaan semakin besar dengan bersamaannya datang dinamika di dalam negeri dan tantangan dari luar. Hanya pemimpin yang kapabel dan kompetenlah yang mampu mengatasinya. Dari situ, dunia belajar dari Malaka dan Makassar. Setelah itu, nyaris tak ada lagi Bandar Pribumi yang merdeka lalu berjaya setelah Malaka dan Makassar. Selebihnya adalah kota – kota kolonial di bawah cengkraman penjajah Eropa.

Refleksi

Belajar dari Makassar di masa lampau, hal yang diperlukan oleh Makassar, dan Sulawesi Selatan hari ini adalah mengembalikan pesona dan membangun kepemimpinan yang berkemampuan mengatasi keadaan yang kompleks. Pendeknya, perlu pemimpin yang kompeten dan kapabel. Baik ke dalam, maupun ke luar.

Hanya dengan begitu, pesona Makassar bukan hanya dapat dikembalikan pesonanya, melainkan dapat melompat lebih tinggi seperti layaknya Singa Terbang yang pernah ditakuti oleh salah satu Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, pada suatu kurun masa kolonial.

Makassar dan Sulawesi Selatan bukan tidak mungkin untuk kembali menemukan pesonanya: asal rakyatnya dapat menyeleksi dan memilih pemimpin dengan dua syarat: kompeten dan kapabel. Bukan pemimpin yang inkompeten apatah lagi miskin kapasitas. (*)

News Feed