English English Indonesian Indonesian
oleh

Demam Profesor

SuarA: Nurul Ilmi Idrus

Dalam UU No. 14/2015 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi (pasal 1:3). Sementara dosen adalah pendidik profesional atau ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (pasal 1:2).

Guru besar merupakan jabatan akademik tertinggi yang diraih oleh seorang pendidik sekaligus peneliti dengan berbagai proses tahapan yang harus dilalui, sehingga karyanya dapat bermanfaat untuk masyarakat luas sebagai wujud dalam pengabdian pada bidang akademis. Jika merujuk pada syarat untuk menjadi profesor, maka seorang calon profesor harus bergelar doktor, pengajuan memiliki publikasi jurnal internasional bereputasi, pengalaman minimal 10 tahun sebagai dosen karena memenuhi, dan memenuhi KUM.

Profesor sering dianggap sebagai gelar akademik dan dipersamakan dengan Sarjana, Magister, dan Doktor yang diperoleh melalui jenjang pendidikan. Padahal profesor tidak diperoleh melalui jenjang pendidikan, tapi merupakan jabatan akademik yang melalui tahapan jabatan fungsional di bawahnya.

Selain melalui jalur akademik bagi dosen, jabatan profesor juga dapat diperoleh melalui jalur non-akademik bagi mereka yang berasal dari kalangan non-akademik yang memiliki kompetensi luar biasa, dengan jabatan profesor kehormatan. Dalam Permendikbud Ristek 38/2021 dinyatakan bahwa penyandang profesor kehormatan itu harus dapat membuktikan bahwa ia telah memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit yang luar biasa pula. Yang Namanya jabatan, ada masa jabatannya, dan jabatan profesor kehormatan berlaku antara tiga dan lima tahun dan dapat diperpanjang dengan mempertimbangkan kinerja dan kontribusi dalam melaksanakan tridharma dan batas usia paling tinggi 70 tahun.  Ini karena profesor kehormatan adalah orang yang semula  berasal dari kalangan non-akademik berubah statusnya menjadi orang yang mendapat jabatan akademik.

Beberapa tahun belakangan ini jabatan profesor kehormatan begitu diminati, terutama oleh para politisi. Padahal tidak ada syarat menjadi profesor untuk menjadi politisi. Jabatan profesor kehormatan pertama diperoleh Megawati pada tahun 2021 yang diberikan oleh Universitas Pertahanan. Setelahnya berentetan profesor kehormatan diberikan oleh universitas lainnya. Namun, pada tahun 2022 viral di media sosial tentang Universitas Gadjah Mada (UGM) menolak pemberian jabatan profesor kehormatan kepada kalangan non-akademik dan pejabat publik karena dianggap tidak sesuai dengan kepatutan dan merendahkan muruah keilmuan UGM. 

Salah seorang politisi yang berambisi menjadi profesor adalah Bambang Soesatyo, politisi partai Golkar ini telah mengekspresikan niatnya jauh sebelum lulus sebagai doktor. Meskipun profesor kehormatan mendapatkan tunjangan dari jabatan tersebut, ia mengklaim bahwa ia tidak mengincar tunjangan tersebut, tapi status sebagai profesor kehormatan itu membuat keluarga dan teman-temannya bangga terhadap dirinya. Ini menjadi salah satu contoh ketidakpatutan dan merendahkan Muruah keilmuan, jabatan tersebut disejajarkan dengan jabatan-jabatan non-akademik lain yang memang beda kelas.

Apakah para politisi atau pejabat publik yang mendapatkan jabatan profesor kehormatan menjalankan tridharma perguruan tinggi? Silakan tanya pada rumput yang bergoyang. Untuk memenuhi syarat mendapatkan jabatan profesor kehormatan, salah satunya adalah jurnal internasional bereputasi, dan ini tidak mudah dilakukan jika yang bersangkutan tidak biasa menulis. Jangan heran jika ada universitas yang menjadi heboh karena sejumlah pejabat publik dan pesohor yang mendapatkan jabatan profesor kehormatan melalui prosedur yang diduga bermasalah, konon mereka lolos berkat jejaring tim penilai dan jurnal predator. Demam profesor memang sedang melanda orang yang melihat jabatan profesor begitu seksi untuk disematkan di depan nama, tapi tidak memikirkan konsekuensi sebagai seorang profesor. What a pity!

News Feed