Sudibyo menguraikan tiga tonggak penting dalam upaya perdamaian global, yakni Konsili Vatikan II, Kalimat Sawa, dan Deklarasi Human Fraternity di Abu Dhabi. Menurutnya, inisiatif ini menunjukkan upaya nyata untuk mengakui kemanusiaan universal dan pentingnya dialog antar agama. Ia juga mengutip pemikiran Karl Rahner dan Graf Frans Magnis Suseno yang menyoroti peran gereja dalam mengakui kemanusiaan universal.
Sudibyo mengajak Muhammadiyah untuk memperkuat visinya terkait kemanusiaan universal. Ia menyoroti pentingnya strategi di bidang fikih kemanusiaan, pencegahan konflik, pelestarian lingkungan, dan perlindungan kemanusiaan.
Prinsip Visi Kemanusiaan
Penanggap pertama, Prof Arifuddin Ahmad menceritakan pengalamannya sebagai pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) berjumpa dengan Paus Benediktus XVI pada tahun 2014. Pertemuan ini menjadi salah satu langkah konkret dalam menjalin dialog dan memperkuat hubungan antara Islam dan Barat.
Arifuddin melanjutkan, sejarah telah mencatat banyak pertemuan antara Barat dan Islam yang dimulai dari masa Rasulullah SAW, penguasaan Spanyol oleh umat Islam pada tahun 711 M, dan penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Mehmed II pada tahun 1453 M.
Arifuddin menyatakan bahwa visi kemanusiaan universal harus didasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, dan kasih sayang. Ia mengutip Al-Qur’an, surat Ali Imran ayat 64, yang menyerukan dialog dan kerja sama antara umat beragama.
“Seruan yang digunakan dalam Al-Qur’an terkadang menggunakan ‘ya ayyuhan nas’ atau ‘ya bani Adam’, sedangkan kepada Barat yang diidentikkan sebagai ahli kitab digunakan narasi ‘ya ahlal kitab’. Ini menunjukkan bahwa Islam selalu membuka pintu dialog dengan segala umat untuk menciptakan perdamaian dan keharmonisan,” ungkap Guru Besar Ilmu Hadits UIN Alauddin itu.