English English Indonesian Indonesian
oleh

Memori Kolektif dan Memori Traumatis Masyarakat Bone

(Dalam Novel Rumpa’na Bone Karya Andi Makmur Makka)

Oleh: Ipa Bahya, Mahasiswa Ilmu Sastra, UGM, 2022

Sejarah panjang kerajaan Bone tergambar secara singkat dalam 201 halaman pada sebuah novel historis yang ditulis oleh Daeng Andi Makmur Makka terbit pada tahun 2015, Rumpa’na Bone – Runtuhnya Kerajaan Bone.

Dengan rasa penasaran yang sangat tinggi, saya membaca beberapa literatur tentang sejarah kerajaan di Sulawesi Selatan. Setelah membaca novel Lontara karya Windy Joana dan Gadis Portugis karya Mappajurungi Manan, kini saya tertarik dalam balutan kisah masa lalu Kerajaan Bone.

Dalam novel Rumpa’na Bone dikisahkan sebuah kerajaan yang cukup makmur dan disegani oleh kerajaan-kerajaan lain dipimpin oleh seorang Arumpone bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri. Sebuah kisah yang dimulai dari cerita anaknya yang masih kecil bergelar Petta Ponggawae’ dan sanak keluarga Saoraja bergelar anakarung senang bermain dan belajar bersama di sekitar Saoraja. Diperkenalkan pula sebuah bangunan istana dengan kayu-kayu kokoh yang tumbuh di negari tropis, Indonesia. Seorang Arumpone yang memimpin kerajaaan merupakan alumni Panglima Perang yang tersohor dengan kekuatan dan tubuh tegaknya.

Ia mendapatkan gelar bintang De Groote Gouden Ster van Verdienste (bintang kehormatan) dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia sebagai lambang bahwa ia dihormati. Pada suatu waktu Gubernur Hindia Belanda Braam van Morris yang tinggal di Makassar mengundang perwakilan kerajaan Bone dalam acara Jebelium Ratu Kerajaan Belanda Wilhelmina, penguasa Hindia Belanda di Celebes Makassar. Rombongan yang diutus oleh Kerajaan Bone dipimpin oleh tomarilaleng untuk mewakili Arumpone dan lima puluh orang pasukan termasuk Pette Sele’ seorang anakarung Saoraja.

Di Fort Rotterdam, Petta Sele’ mempunyai seorang sahabat berkulit putih dari Belanda bernama Letnan Van De Briek, Letnan Briek menceritakan tentang pasangannya yang ada di Belanda dan mengatakan kepada Petta Sere’ untuk menemuinya jika Petta Sere’ menjejakkan kaki ke tanah Belanda, Letnan De Briek memberikan alamat pasangannya, selepas pertemuan akrab tersebut, mereka berhambur dalam acara pesta yang megah dan pasukan Kerajaan Bone kembali ke Bone.

Dua bulan setelah pertemuan antara perwakilan Kerajaan Bone dengan Kerajaan Belanda di Makassar, Gubernur Hindia Belanda menyampaikan pesan akan mengirim utusan untuk menemui Raja Bone. Tujuan dari pesan tersebut ialah meminta kembali kesediaan Raja Bone untuk menandatangani pembaruan perjanjian antara Kerajaan Bone dan Pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian tersebut mengandung beberapa pasal yang mengharuskan Kerajaan Bone menyerahkan sepenuhnya pengelolaan pelabuhan Pallime dan hak kontrol perdagangan langsung Kerajaan Bone dengan negeri lain. Hal yang sama juga dipaksakan kepada Kerajaan Gowa, tetapi Kerajaan Gowa menolak mentah-mentah menandatangani perjanjian baru itu. Keinginan pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kerajaan Bone sebagai kerajaan pinjaman dan status Raja Bone sebagai simbol semata.

Utusan pihak Belanda menemui Arumpone untuk memberikan sebuah amplop berwarna putih dan bersegel merah. Residen Brugman menyampaikan bahwa surat yang dibawanya adalah surat dari Panglima Tentara Ekspedisi Kolonel C.A. Val Loenen mewakili Gubernur Braam van Morris di Makassar. Arumpone menerima surat tersebut dan isi surat membuat Kerajaan Bone dan hari Arumpone terbakar. Surat yang ditulis dalam bahasa Belanda dengan selembar terjemahan dalam bahasa Melayu aksara Arab itu dibaca oleh Petta Pabbicara.

Singkatnya ada beberapa poin yang disampaikan dalam surat, sbb:Kerajaan Bone membantu Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan ganti rugi dari bea cukai baik yang keluar maupun yang masuk, serta mengakui hak Pemerintahan. Ganti rugi atas pengiriman ekspedisi dari Jawa ke Bone pulang pergi. Menandatangani perjanjian politik yang baru sebagaimana terlampir. Apabila dalam tempo 15 hari kami tidak menerima jawaban yang memuaskan, maka serangan akan dimulai.

Surat yang dikirim oleh Kerajaan Bone diterima oleh Kolonel C.A. Van Loenen di atas kapal Brisjwijk pada tanggal 27 Juli 1905. Setelah menerima surat, Kolonel meminta penyerangan terhadap Kerajaan Bone, peperangan terjadi dengan berbagai strategi dan taktik. Pihak Kerajaan Bone memperkuat pertahanan pada beberapa titik daerah yang strategis seperti pantai Bajoe sebagai pertahanan utama karena kota Watampone (pusat kerajaan Bone) berdekatan dengan pantai Bajoe, Watampone, Benteng Tippulowe, Benteng Lalengbata, Benteng Passenpe, Benteng Pallime.

Peperangan antara kedua belah pihak tidak dapat dihindarkan, pasukan Belanda yang menyerang di pantai Bajoe berkali-kali menembakan meriam yang perkasa menghantam wilayah sekitaran pantai Bojoe ditambah dengan sejumlah senjata api yang digunakan oleh seluruh pasukan. Dipihak Bone, senjata yang digunakan seperti Meriam Lantaka, senjata api, kuda, parang, tombak, keris, bedil, badik, dll. Pertempuran hari pertama telah memakan banyak korban jiwa di antara kedua belah pihak hingga daerah sekitar pantai dipenuhi dengan darah segar. Pertahanan di pantai Bajoe tidak dapat dilakukan dengan maksimal, pasukan Hindia Belanda pun mulai bergerak ke Watampone, pusat Kerajaan Bone.

Dari peperangan antara Kerajaan Bone dan penjajahan Belanda meninggalkan memori kolektif dan memori traumatis antara kedua belah pihak. Namun, yang paling disorot ialah pada pihak kerajaan Bone. Budiawan menyatakan bahwa memori kolektif ialah transferan ingatan individu atas pengalaman masa lalu yang hidup dalam masyarakat secara berkelanjutan, melalui penuturan ulang atas pengalaman yang dihadirkan kembali pada masa kini lewat cerita dan gambar atau foto yang merepresentasikan kehidupan masa lalu tersebut. Sedangkan, memori traumatis menurut Caruth(1996) sebagai sebuah akibat dari keberadaan peristiwa dan semacam halusinasi tidak terkendali pasca-peristiwa traumatis.

Bagi individu dengan memori traumatis berkecenderungan melakukan atau mengalami serangkaian perilaku yang menunjukkan hadirnya trauma, antara lain repetisi (repetition), mimpi buruk (nightmare), dan kilasan balik (flashback), bahkan lebih parah dengan memilih bunuh diri sebagai penyelesaian krisis hidup pasca-momen traumatis. Adapun memori kolektif yang dialami oleh anggota Kerajaan Bone ialah memori flashbulb, memori kolektif yang teringat jelas oleh masyarakat/Kerajaan Bone seperti genosida atau pembantaian yang dilakukan oleh penjajah Belanda kepada Kerajaan Bone sehingga meruntuhkan kekaisaran Bone dan menghilangkan banyak nyawa prajurit, panglima, dan pemimpin perang dari Kerajaan Bone.

Selanjutnya memori kolektif generasi,  memori tentang kebiasaan yang dilakukan oleh generasi lama yang ke generasi selanjutnya seperti melaksanaan ngaru sebagai bentuk penyerahan diri untuk menjadi pasukan terdepan demi menyukseskan segala acara dan rencana yang akan dilaksanakan. Selanjutnya, memori tradisi, ialah memori yang diwariskan dan berisi tradisi-tradisi suatu kelompok masyarakat. Masyarakat Bone yang kini menjadi saksi kehidupan masa Kerajaan Bone memiliki tradisi menggunakan badik dalam berbagai acara atau menancapkan badik di selah sarung bodo’. Sedangkan memori traumatis dialami oleh anggota kerajaan Bone yang masih tersisa dari peperangan dan masyarakat yang menjadi tahanan dari penjajahan Belanda. Trauma-trauma yang dialami oleh masyarakat Bone ialah rasa takut yang berkepanjangan, rasa khawatir akan terjadinya peperangan selanjutnya, dan rasa menyesal atas kegagalan mempertahankan kerajaan yang adiluhung. Memori kolektif dan memori traumatis tidak bisa dipisahkan dari orang-orang yang mengalami peperangan. Dari novel Rumpa’na Bone, dapat disaksikan kekejian dari penjajah Belanda yang serakah dengan kekuasaan di wilayah Sulawesi Selatan. (*)

News Feed