Sementara pada ekstrim lain terjadi pada tahun 1980-an, nilai indeks dollar AS saat itu mencapai titik tertinggi, yaitu nilai indeks dollar AS 164,72. Hal ini menunjukkan bahwa dollar AS menguat sebesar 64,72% terhadap AEs dan juga EMDEs.
Sehingga opsi kebijakan paling utama bagi Indonesia adalah tetap menjaga kesinambungan regim nilai tukar fleksibel (mengambang bebas). Dimana dampak dari tekanan eksternal dalam bentuk pengetatan kebijakan moneter AS terhadap mata uang rupiah langsung diserap melalui depresiasi rupiah.
Kebijakan ini belum cukup, tetapi harus disertai dengan penerapan kebijakan inflation targeting framework yang akan meningkatkan krebilitas dari kebijakan moneter dan sekaligus kredibilitas dari bank sentral.
Sejalan dengan Obstfeld dan Zhou (2022), mengutak atik suku bunga acuan bukan pilihan kebijakan yang baik karena menaikkan bunga acuan akan berdampak semakin kontraktif dan meningkatkan premi resiko suatu negara. Hal ini beralasan mengingat inflasi domestik masih sesuai target BI dengan suku bunga riil yang terjaga.
Berdasarkan siklus dollar AS, peranan sentimen investor global terhadap resiko memegang asset keuangan suatu negara sangat besar, maka opsi kebijakan macroprudential dapat diambil. Diantaranya, melakukan pembatasan utang luar negeri dalam dollar AS yang tidak di-hedging oleh pemerintah maupun swasta.
Kebijakan ini juga belum cukup mengingat adanya resiko spesifik yang terjadi di hampir semua negara, khsusunya yang berkaitan kelemahan institusional. Resiko spesifik dapat dieliminir melalui perbaikan kualitas dan transparansi institusi yang akan mengurangi premi resiko dan persepsi resiko investor global terhadap perekonomian nasional.