“Nah itu kan menjadi salah satu daya tarik dari partai politik tersebut ya untuk mengangkat dia sebagai calon dan bisa masuk ke penjaringan misalnya. Jadi kombinasi barangkali antara kebijakan di level internal parpol yang harus didorong dengan memang parpol sendiri harus menyiapkan kader-kader potensial yang perempuan. Jadi barangkali kayak membuat sekolah kader ya sekolah kader eksekutif, sekolah kader partai yang untuk legislatif,” pungkasnya.
Ia pun menyebut saat ini, memang sudah ada beberapa parpol yang menjalankan program peningkatan pendidikan kepemimpinan terhadap kader politiknya
“Saya yakin ada beberapa parpol yang sudah melakukan setahu saya ada Nasdem, PDIP juga melakukan. PKS kayaknya malah sekarang sudah lebih fokus juga menyisir fokus ke kader milenial malahan mereka, perempuan laki-laki tapi yang milenial. Jadi kombinasi antara dua hal itu ya internal perubahan apa namanya mendorong perubahan di kebijakan internal parpol sama ada pendirian sekolah-sekolah gitu dan terus juga perempuan potensialnya harus didorong gitu. Makanya selama ini kami di BRIN kan 2-3 tahun ini concern ke empowerment teman-teman woman NGO,” paparnya.
Peneliti BRIN ini pun memandang sejauh ini figur perempuan yang terpilih itu berasal dari fenomena ikatan kekerabatan atau disebut juga dengan familial ties.
“Ternyata memang 50%-nya lebih gitu memang berasal dari dalam tanda kutip kalau pakai teori itu disebut familial ties atau ikatan kekerabatan tadi ya. Kalau dalam studi mengenai kepemimpinan perempuan di Asia Tenggara maupun Asia Selatan memang dalam risetnya itu disebutkan bahwa kecenderungan para perempuan eksekutif di Asia Selatan maupun Asia Tenggara itu yang menjadi pemimpin tuh karena familial ties itu,” jelasnya.