English English Indonesian Indonesian
oleh

Pelecehan Seksual

SuarA: Nurul Ilmi Idrus

Jika merujuk pada Permendikbudristek No. 30/ 2021 tentang Pencegahan, Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (pasal 5), maka jenis kekerasan seksual yang dapat terjadi di lingkup Perguruan Tinggi (PT) mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi, pelecehan seksual termasuk di dalamnya. Pada tahun 2023, Kemendikbudristek secara resmi merilis Permendikbudristek No. 46/ 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang dikenal sebagai Permendikbudristek PPKSP. Seharusnya ini telah menjadi warning bagi predator seksual.

Pelecehan seksual merupakan suatu perilaku yang merendahkan atau menghina seseorang yang tidak saja terkait dengan tindakan seksual, tetapi juga mencakup ucapan yang menyasar seksualitas seseorang, yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman, tekanan psikologis, atau penyalahgunaan kekuasaan, terutama jika ada relasi kuasa di antara pelaku dan orang yang dilecehkan. Dalam konteks PT, relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa menyebabkan PT menjadi tempat yang rawan terjadinya pelecehan seksual.

Beberapa hari terakhir berita tentang pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswa di kampus menjadi viral. Apakah ini sesuatu yang baru? I don’t think so. Berbagai kasus serupa telah banyak terjadi di berbagai kampus di Indonesia, dengan level yang berbeda-beda. Ada kemungkinan di hampir semua perguruan tinggi kejadian pelecehan seksual banyak terjadi. Namun, kasus-kasus yang terungkap bagai fenomena gunung es, hanya segelintir kasus yang terungkap karena korban merasa malu atas kejadian yang menimpanya dan takut untuk speak up, sementara orang belum tentu bersimpati padanya atau bahkan menyalahkannya. Penyelesaiannya pun kebanyakan di belakang layar, atau paling jauh pelaku dipindahkan atau memindahkan diri ke PT lain. Ini bentuk penyelesaian yang paling “aman” karena PT dianggap terjaga “nama baiknya” karena kasus tidak meledak, PT penerima menjadi PT “penampung” pelaku pelecehan seksual. Mantap kan?

Dalam kasus-kasus semacam ini, “nama baik” PT terkait yang menjadi kambing hitam, seakan “nama baik” PT ternoda jika kasus di-blow up, dan jika ada orang per-orang yang turut berbicara dari sisi korban, mereka dianggap sebagai “penyerang kampus.” Padahal jika kita mendudukkan logika secara tepat, maka sebenarnya nama baik kampus telah “ternoda” dengan adanya kasus pelecehan yang dilakukan oleh seorang dosen. Bukan blow-up kasus yang “menodai” nama baik kampus.

Menyentuh, memegang, mengeluarkan kata-kata seksual dianggap hal biasa, apalagi dengan alasan korban “dianggap anak.” Bayangkanlah jika pelecehan seksual dilakukan terhadap anak atau anggota keluarga kita. Apakah itu juga biasa? Atau pelaku memberlakukan standar ganda?

Pro-kontra terkait kasus pelecehan seksual pun tak kalah seru. Yang pro terhadap korban, jelas mendukung agar kasus ini dibuka selebar-lebarnya dan pelaku diberi sanksi sesuai dengan perbuatannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ada saja orang yang membela pelaku, membela kenapa kasus di-blow up, membela nama baiknya. Padahal, yang menyebabkan kasus ini muncul adalah si pelaku. Sekali berbuat tidak ter-blow up, maka dibuat lagi, begitu seterusnya. So far, “aman,” hingga ada korban yang berani membukanya. Tidak salah kan jika ada pepatah yang mengatakan: “berhentilah makan sebelum kenyang,” tapi karena pelaku tidak jua berhenti, dan berbagai kasus yang ter-blow up tidak juga menjadi pelajaran baginya, maka ia kekenyangan. (*)

News Feed