English English Indonesian Indonesian
oleh

Abah Umar, Owner Medina Asian Restaurant: Tak Ingin Kaya Malah Makin Kaya

FAJAR, MAKASSAR-MADINAH memiliki magnet yang kuat bagi siapapun yang pernah berkunjung ke sana. Magnetnya bisa sangat-sangat kuat. Seperti yang dirasakan Muhammad Sarwoni Thoyyibi atau yang akrab di sapa Abah Umar.

Owner Medina Asian Restaurant ini tidak hanya memilih Madinah sebagai tempat bisnis, tetapi juga memilih Madinah sebagai tempat dia mengembuskan nafas terakhir. “Saya ingin wafat di sini,” katanya lembut tapi tegas saat tim Media Centre Haji (MCH) Madinah bersilaturahmi dengannya di suatu malam usai salat isya di restaurannya yang menyajikan masakan Padang, bakso dan soto betawi.

Saya terdiam saat mendengar kalimat itu. Pria yang membiarkan janggutnya tumbuh panjang itu menggenggam tangan saya sangat erat. Dia menatap saya dengan dalam. Lalu kembali mengulang. “Ya. Saya ingin wafat di sini. Ingin dekat dengan Rasulullah,” katanya lagi dengan mata berkaca-kaca.

Abah Umar adalah pria yang mudah terenyuh. Apalagi jika berkisah tentang perjalanan panjang yang mengantarnya berada di tanah haram. Puluhan tahun lalu, dia mengaku bukan siapa-siapa dan tanpa siapa-siapa.

Dia merantau ke Jakarta tanpa modal sepersen pun. Tidurnya di kolong jembatan. Pakaian yang dimilik hanya yang melekat di badan. Tak pernah berganti. Dia bisa mengisap rokok, jika ada pemulung yang memberinya. Makan pun hasil pemberian orang.

Hingga suatu hari, dia bertemu dengan seorang pria asal Jogyakarta yang menawarkan tempat berteduh. Suyadi, nama pria itu, disebutnya pahlawan. Suyadi memberinya tempat tidur, makan dan kadang uang. Pria itu mengantarnya meraih “kemerdekaan” ekonomi seperti yang dinikmatinya saat ini.

Perjalanannya di bidang kuliner dimulai dari pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih di salah satu restoran di Jakarta. Gajinya Rp30 ribu-an per bulan. Minatnya di bidang kuliner membuatnya berani mendaftar sebagai peserta Master Cheff sesion satu pada 2011.

Namun dia hanya bertahan beberapa episode karena bosnya melarang untuk lanjut. Sejak itu kuliner menjadi bidang yang disukainya.

Perjalanannya ke tanah Arab dimulai pada tahun 2015 sebagai TKI. Dari hasil kerja keras nya itulah, Umar mengumpulkan sedikit demi sedikit modal usaha hingga akhirnya bisa memiliki beberapa restoran di Arab Saudi. Seperti di Makkah, Riyad dan Madinah. Dari 14 cabang usahanya. Madinah lah yang membuatnya betah. Dia berharap wafat di kota ini.

Abah Umar boleh dikata sosok yang nyentrik. Dia berbeda dengan kebanyakan orang. Jika umumnya orang berdoa ingin kaya raya. Umar justru tidak pernah berdoa agar dikasi kekayaan. Lika-liku perjalanan mengajarkannya banyak hal.

Dia tak ingin kaya. Dia hanya ingin semua mengalir begitu saja sesuai keinginan yang Maha Kuasa. Meski tidak pernah meminta kekayaan, Umar justru makin kaya. Bahkan di luar ekspektasinya bisa memiliki gerai restoran di Arab Saudi.

Jauh sebelum ini, Umar bercerita pernah nyaris tersesat. Dia berburu ilmu pesugihan di Banten. “Awalnya di tahun 1980-an. Saya juga ingin kaya. Saking inginnya kaya, saya berburu ilmu pesugihan di Banten. Saking buntunya pikiran, gak ada tempat tinggal dan kerjaan apalagi untuk makan. Teman pada menjauh. Orangtua dan keluarga gak ada yang tahu karena saya gak ingin nyusahin keluarga,” kisah Umar.

Upayanya itu gagal. Juru kunci pesugihan meninggal dunia saat dia tiba di sana. “Berhari-hari saya terlunta-lunta di Banten. Saya saking miskinnya dikira orang gila,” tambahnya.

Hingga suatu hari dia bertemu dengan seorang guru agama yang mengajaknya nyantri. Guru ini berkata ke Umar bahwa dia tidak akan pernah mendapatkan ilmu pesugian karena dalam hati kecilnya menolak.

“Ya, Allah masih sayang. Masih memberi kesempatan. Orang pintar itu bilang, senekad apapun saya, gak bakal bisa mampu mendapat pesugihan karena di jiwa saya, katanya, ada titik yang gak pernah mau menerima pesugihan atau lainnya. Sejak itu, saya tidak pernah berdoa meminta kekayaan,” urai Umar mengenang masa-masa sulit.

Kini, di saat merdeka ekonomi, Abah Umar tidak berhenti berbagi. Dia senang mengundang orang Indonesia makan gratis di restorannya. Dia bersemangat berbagi tentang pengalaman hidupnya.

Dia pun akan selalu mengulang dan tak malu mengungkap tentang kemiskinannya di masa lalu. Umar ingin, cerita hidupnya menjadi penyemangat bagi mereka yang sedang berjuang dan nyaris putus asa.
Medina Asian Restaurant yang berada di Tengah kota Madinah, menjadi salah satu saksi hasil kesabarannya. Kunci sukses kata dia hanya satu. Yaitu Sabar.
Restauran ini menyajikan masakan Padang, ada juga bakso dan soto Betawi.

Pengunjungnya bukan hanya orang Indonesia, tetapi juga penduduk asli. “Mereka sudah akrab dengan masakan Padang,” jelas Umar. Malam itu, usai kami menikmati menu masakan Padang, dua orang pria tinggi besar berkulit hitam, bergamis panjang masuk ke restoran, memilih meja yang berada di sudut. Menu nasi padang yang disajikan, mereka santap dengan lahap. (er)

News Feed