M. Qasim Mathar
Kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan ruang yang teramat luas bagi warga bangsa dan negara itu untuk mengekspresikan diri masing-masing. Ekspresi itu dalam bentuk orang per orang atau kelompok per kelompok.
Ekspresi itu berwarna-warna, tidak hanya satu warna saja. Ada warna-warna ideologis. Ada warna-warna mazhab (paham) keagamaan. Ada warna-warna kecondongan politik, dan warna-warna lainnya.
Di dalam ruang berbangsa dan bernegara, ideologi Pancasila kita yang bercorak demokratis berinteraksi dengan anasir-anasir dari ideologi materialisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme (kiri atau kanan), nasionalisme radikal, dan lain-lain.
Spirit Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam Pancasila kita menjadikan kebangsaan dan kenegaraan kita menjadi ruang yang nyaman bagi agama-agama untuk tumbuh berkembang subur. Sejak sebelum kemerdekaan, organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Persatuan Islam (PERSIS) serta kelompok-kelompok tarekat, sudah lahir. Pada masa kemerdekaan, Muhammadiyah dan NU berkembang menjadi ormas yang besar. Keduanya terlibat langsung di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua ormas Islam itu berdinamika dengan bidang-bidang kehidupan yang digeluti bangsa dan negara, tapi dengan corak dinamika yang bisa berbeda.
Negara memerlukan kedua ormas Islam itu. Negara memerlukan dukungan politik NU (sejak masa Orde Lama hingga kini). Sedang dari Muhammadiyah negara memerlukan dukungan sumber daya ormas tersebut (contoh paling anyar, negara masih banyak utang hingga sekarang kepada Muhammadiyah yang telah mengerahkan rumah-rumah sakit dan tenaga medisnya dan fasilitas kekayaannya yang lain di dalam menangani pandemi Covid-19). Model keperluan demikian, NU menjadi penting, misalnya, di saat berlangsung perhelatan politik, seperti pemilu dan pilkada. Dan, NU memerlukan kompensasi kekuasaan dalam relasi yang demikian. Selaras dengan itu, Muhammadiyah menjadi penting guna berkontribusi sumber daya bagi negara.