Oleh: M. Nawir, Alumni Sastra Unhas/ Anggota Komunitas Sahabat Alam Maros
Ungkapan “dekat di mata jauh di hati” pada subjudul di atas merupakan pembalikan maksud dari peribahasa lama, “jauh di mata dekat di hati”.
Makna perubahan lama ini lebih tepat menggambarkan perasaan simpati sahabat di kampus Leipzig Jerman pada kelangsungan hidup Macaca Maura. Sebaliknya, orang-orang yang memberi makanan kepada Macaca di jalanan memang dekat (di mata) secara spasial, tetapi secara emosional jauh (di hati).
Bagaimana mendekatkan persoalan Macaca menjadi kepentingan bersama? Melalui tulisan ini saya hendak membagi pelajaran berharga kelas Conservation and Performing Arts (CPA) yang difasilitasi oleh Center for Competence of Theater (CCT) Universitas Leipzig Jerman. Kelas ini melibatkan para pembelajar dari ISI Yogyakarta, ISBI Sulsel, Fakultas Kehutanan Unhas, Balai KSDA, TKU Unhas dan Kosalam Maros.
Konservasi dan Transmisi Budaya
Konservasi merupakan proses transisi berkelanjutan dari masa lalu ke masa kini, mencakup pelestarian dan perlindungan ekologi dan ekosistem budaya. Misalnya, orang Maros dahulu menarasikan drama tragedi hubungan manusia dengan “orang hutan” (toale, dare) dalam cerita Sinriliq I Marakondang (Toakala) dan Bissu Daeng. Cerita ini menjadi saluran transmisi, menghubungkan budaya ekologis masyarakat masa lalu ke masa kini.
Suatu tradisi akan berkembang atau punah bergantung pada keberlangsungan transmisi budaya. Melalui mekanisme mengajar dan belajar, suatu kelompok sosial mengawetkan ciri-ciri perilaku dominan (Cavalli-Storza & Feldman, 1981); melalui pengamatan, imitasi, pengajaran, bahasa (Mesoudi, 2008) tentu mendekatkan pembelajar dengan persoalan nyata.