English English Indonesian Indonesian
oleh

Macaca Maura: Dekat di Mata Jauh di Hati

Macaca Maura sebagai persoalan nyata dapat dijelaskan dalam dua konteks persoalan. Pertama, tantangan kebudayaan saat ini adalah pembangunan yang mengakumulasi kekayaan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan ekosistem budaya. Imbasnya, kesadaran kultural terhadap entitas hidup manusia dan bukan-manusia, melemah. Masyarakat Indonesia sedang dan akan terus mengalami defisit “orang tua”, sebaliknya surplus “orang muda”. Para tetua, transmitter budaya semakin menua, meninggalkan orang muda. Generasi milenial tidak pernah menyaksikan pertunjukan Sinriliq I Marakondang. Sementara para pendidik resah dengan kecenderungan pengajaran yang menjauhkan siswa dari persoalan nyata.

Kedua, tekanan antropogenik dalam satu abad terakhir. Supriatna (2020) melaporkan Sulawesi adalah pulau penting bagi 17 spesies endemik. Macaca Ochreata di Sulawesi Tenggara dan Tarsius Pelengensis di Pulau Peleng Sulawesi Tengah mengalami kehilangan habitat 14%, diikuti Macaca Hecki dan Macaca Tonkeana. Penyebabnya, masih banyak zona yang belum ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Kebijakan konservasi sumber daya alam di kabupaten Maros relatif lebih baik dari yang terburuk. Kera Macaca terdapat dalam areal TN Bantimurung-Bulusaraung, mencakup kawasan karst, yang saat ini ditetapkan menjadi UNESCO Geopark Maros-Pangkep. Hanson dan Riley (2018) menilai kebijakan konservasi itu belum mantap. Misalnya, kendaraan di jalan poros Camba semakin padat mendorong perluasan infrastruktur dalam kawasan Taman Nasional.

Macaca adalah subjek solidaritas. Caranya, manusia belajar pada kera untuk memahami perilaku, ekspresi, dan ruang hidup Macaca. Sudut pandang ini sebenarnya otokritik terhadap perilaku manusia. Biasanya, manusia melatih kera untuk dipertontonkan sebagai hiburan. Kebanyakan peneliti pun menjadikan kera sebagai objek kajian ilmiah semata. Dalam pembelajaran CPA, kera Macaca menjadi subjek pembelajaran.

News Feed