Oleh: Aswar Hasan
Di alam pemikiran manusia, terbentang persimpangan jalan yang dihiasi tiga aliran filosofis: idealisme, realisme, dan pragmatisme. Masing-masing menari dengan irama dan gayanya sendiri, memikat para pemikir dengan tawarannya yang unik.
Bagai penyair yang merajut mimpi, idealisme menari di atas awan, menggapai bintang-bintang kebenaran dan keindahan. Ia percaya pada dunia yang ideal, di mana manusia didorong oleh nilai-nilai moral dan etika yang tinggi. Bagi kaum idealis, dunia adalah kanvas kosong, siap dilukis dengan cita-cita mulia dan tindakan yang berlandaskan prinsip. Itulah yang sebagian mewarnai pemikiran keindonesiaan, sementara itu mereka diadang oleh pemikir realistis. Berbeda dengan idealisme yang melayang di angkasa, realisme menapaki bumi dengan kokoh. Ia bagai penjelajah yang meneliti lanskap dunia apa adanya, tanpa terbuai oleh fantasi idealis. Realis memandang dunia dengan kacamata objektif, menerima kenyataan pahit dan manisnya kehidupan. Bagi mereka, kebenaran terukir dalam fakta dan realita, bukan dalam mimpi dan ilusi. Dua hal itulah yang mewarnai kaum pemikir Indonesia tentang masa depan Indonesia, sementara itu kompromi antara idealisme dan realisme melahirkan kaum “Pragmatisme”.
Di tengah perdebatan antara idealisme dan realisme, pragmatisme muncul bagai penari yang lincah dan fleksibel. Ia tak terikat pada idealisme yang utopis, juga tak terbelenggu oleh realisme yang kaku. Pragmatisme menari mengikuti irama zaman, memilih jalan yang paling praktis dan menghasilkan konsekuensi terbaik. Bagi kaum pragmatis, kebenaran bukan konsep abstrak, melainkan apa yang terbukti efektif dalam mencapai tujuan. Kelemahan kaum pragmatisme adalah sering mengabaikan prinsip-prinsip fundamental dalam bernegara.
Ketiga aliran ini, bak tiga serangkai, menawarkan lensa yang berbeda untuk memahami dunia dan peran manusia di dalamnya. Idealisme menuntun kita ke arah cita-cita mulia, realisme mengingatkan kita pada kenyataan pahit, dan pragmatisme membantu kita menentukan langkah yang tepat.
Manakah yang lebih unggul? Pertanyaan ini bagaikan memilih antara mawar, melati, dan anggrek. Masing-masing memiliki keindahan dan keunikannya sendiri. Idealisme bagaikan mawar yang menebarkan aroma harum, realisme bagaikan melati yang melambangkan kesederhanaan, dan pragmatisme bagaikan anggrek yang memancarkan pesona eksotis.
Pada akhirnya, tak ada satu aliran yang mampu menjawab semua pertanyaan kehidupan. Oleh karena itu, dibutuhkan kaum visioner sebagai jawaban dalam tarik menarik ketiga pandangan di atas dalam lanskap keindonesiaan.
Sebuah pandangan visioner haruslah berlandaskan pembukaan UUD 1945, dimana disitu tercantum cita-cita kebangsaan dan juga berlandaskan problematika real kebangsaan Indonesia, dimana hal itu merupakan aspirasi rakyat. Contoh praktik dinamika di atas bisa dilihat pada rencana perbaikan gizi anak bangsa sebagai cita-cita idealis yang berjalan di tengah kemiskinan dan defisit APBN, sehingga melahirkan solusi pragmatis berupa asal makan gratis bagi anak bangsa. Akibatnya terjadi otak-atik APBN yang mengoreksi jatah aspek strategis pembelanjaan lainnya. Itulah gambaran tarik-menarik antara idealisme versus realisme yang melahirkan pragmatisme. Wallahualam bi sawabe (*)