Pelaku pasar valuta asing akan membuat ekspektasi secara rasional dengan menganalisa semua ionformasi yang ada di pasar. Dimana semua pelaku pasar menerima informasi pasar yang sama satu sama lainnya atau informasi bersifat simetris antar pelaku pasar.
Studi empiris EMH di Indonesia menunjukkan bahwa hipotesa pasar yang efisien tidak dapat diterima (Rauf, 2006). Dimana pelaku pasar bertindak tidak rasional dan informasi bersifat asimetris atau tidak sama antar pelaku pasar. Hal ini menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah per dollar AS sangat tergantung pada sentimen negatif pelaku pasar.
Hal ini terjadi pada rupiah per dollar AS sekarang, yaitu reaksi negatrif pelaku pasar terhadap pengumuman The Fed, Bank Sentral AS terkait dengan rencana penurunan suku bunga acuan bank sentral AS, yaitu federal fund rate (FFR). The Fed akhirnya tetap mempertahankan regim suku bunga tinggi karena inflasi AS lebih besar dari target inflasi The Fed.
Sejalan dengan hal tersebut, majalah ekonomi terkemuka, The Economist, yang berbasis di Inggris, pada edisi 10 – 16 Desember 2022, pernah membuat judul tulsian welcome to the end of cheap money, yaitu era inflasi tinggi dan suku bunga tinggi.
Sudah menjadi aturan umum, meskipun tidak selamanya, respon kebijakan moneter bank sentral secara global terhadap inflasi tinggi adalah menaikkan suku bunga acuan. Sebagai contoh, The Fed, bank sentral AS mempertahankan FFR tetap tinggi pada saat inflasi tinggi.
Kebijakan moneter ekstra ketat diharapkan menurunkan inflasi AS lebih cepat, yaitu dari 3,3% tahun 2023, menjadi 2,8% tahun 2024 dan 2,5% tahun 2025. Sehingga terdapat konsensus diantara pelaku pasar bahwa The Fed, akan menurunkan FFR sebesar 75 basis points (bps) tahun 2024 dan 250 bps tahun 2025 dan 2026. Sehingga FFR menjadi hanya 2,5% tahun 2026 dari saat ini 5,25% – 5,5%.