English English Indonesian Indonesian
oleh

Tapera di Antara Untung dan Buntung

Edi Abdullah
Kriminolog/Pengamat Politik, Hukum dan Demokrasi
pada Puslatbang KMP Lembaga Administrasi Negara RI

Polemik mengenai Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) kini menimbulkan reaksi penolakan dari berbagai lapisan masyarakat, khususnya kalangan pegawai atau pekerja. Pemerintah berencana memberlakukan kebijakan pemotongan gaji pegawai atau pekerja untuk iuran simpanan Tapera setiap bulannya. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.

Tapera dijelaskan dalam Pasal 1 Butir 1 sebagai Tabungan Perumahan Rakyat, yang selanjutnya disebut Tapera, adalah penyimpanan yang dilakukan oleh Peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

Adapun besaran simpanan Tapera diatur dalam Pasal 15, yakni sebesar 3% (tiga persen) dari gaji atau upah untuk Peserta Pekerja dan dari penghasilan untuk Peserta Pekerja Mandiri. Besaran simpanan Tapera untuk Peserta Pekerja ditanggung bersama oleh Pemberi Kerja sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan oleh Pekerja sebesar 2,5% (dua koma lima persen).

Simpanan Tapera ini nantinya akan memotong setiap gaji atau upah dari pekerja setiap bulannya sebesar 3%. Hal inilah yang kemudian memancing reaksi dari pekerja yang menolak pemberlakuan simpanan Tapera karena dianggap akan semakin membebani mereka.

Tapera belajar dari BPJS

Pemberlakuan Simpanan Tapera, yang akan memotong otomatis gaji karyawan atau pegawai sebesar 3%, tentunya tidak muncul tanpa dasar. Kebijakan ini tampaknya terinspirasi dari kesuksesan Program BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, yang berhasil mendatangkan pendapatan besar bagi pemerintah. Pada tahun 2023, tercatat pendapatan dari iuran BPJS mencapai Rp151,4 triliun.

Melihat kesuksesan dan keuntungan yang diperoleh dari BPJS Kesehatan, pemerintah tampaknya terdorong untuk mereplikasi program tersebut dalam kegiatan lain. Maka lahirlah Simpanan Tapera, yang diharapkan akan memiliki mekanisme kerja serupa dengan BPJS Kesehatan, yakni mengenakan iuran kepada setiap pekerja atau pegawai setiap bulannya.

Diharapkan pemberlakuan Simpanan Tapera akan sukses mengumpulkan dana dari pekerja dan menjadi sumber pendapatan negara di masa depan. Namun, di sisi lain, penolakan dari pekerja muncul karena kebijakan ini dianggap memberatkan. Selain itu, dana lain yang cukup besar saat ini adalah dana ibadah Haji yang dikelola BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji), yang mencapai Rp166 triliun.

Hadirnya Tapera diharapkan mampu memaksimalkan pendapatan negara seperti halnya BPJS Kesehatan. Ini jelas merupakan terobosan kebijakan yang mengadopsi kesuksesan Program BPJS Kesehatan. Namun, di sisi lain, pemerintah tentunya membutuhkan pendapatan untuk menjalankan berbagai program kerjanya. Akan tetapi, dengan hadirnya Tapera, kekhawatiran muncul karena potongan 3% dari gaji pekerja dianggap sangat besar di tengah berbagai kebutuhan hidup seperti bayar cicilan dan kredit.

Untung dan buntung

Program Tabungan Tapera tentunya akan menguntungkan pemerintah dengan adanya pendapatan yang masuk ke negara. Namun, di sisi lain, pemotongan simpanan Tapera secara periodik setiap bulannya justru dapat membuat pekerja atau pegawai merugi. Jika dihitung, misalnya jumlah pekerja di tahun 2024 ini adalah 150 juta orang, dengan UMR terendah sebesar Rp2.500.000 dan UMR tertinggi sebesar Rp6.000.000. Dengan mengambil rata-rata UMR sebesar Rp3.600.000, maka dengan potongan 3%, pengeluaran pekerja per bulan adalah Rp108.000 sebagai potongan Tapera.

Jika dikalikan dengan 150 juta pekerja, maka setiap bulan jumlah potongan mencapai Rp16,2 triliun. Jika dikalikan 12 bulan atau selama setahun, maka jumlah potongan Tapera mencapai Rp194,4 triliun. Jumlah uang Tapera ini tentunya sangat fantastis, dan jika tidak dikelola dengan baik sangat berbahaya karena potensi perilaku korupsi.

Simpanan Tapera ini tentunya akan berlaku ke depan karena telah diperkuat dengan regulasi yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Karena itu, jika pekerja maupun pegawai menolak kebijakan ini, maka solusinya adalah pembatalan aturan tersebut yang bisa diajukan ke MA atau meminta judicial review kepada pemerintah dalam hal ini Presiden untuk mencabut kembali PP tersebut.

Simpanan Tapera memang akan menjadi program yang sangat potensial namun memberatkan pekerja. Karena itu, solusi terbaik adalah menurunkan potongan simpanan Tapera tersebut, mungkin hanya berkisar 1% dari gaji pegawai/pekerja sehingga tidak memberatkan perekonomian pekerja.

Yang perlu juga menjadi perhatian adalah mekanisme penggunaan simpanan Tapera tersebut, termasuk pengaturan proses kepemilikan rumah nantinya. Perlu ada kejelasan tentang berapa tahun seorang pegawai atau pekerja bisa memiliki rumah, serta bagaimana proses kreditnya dengan pihak ketiga, yakni pengembang perumahan. Tidak terkecuali pegawai atau pekerja yang telah pensiun, perlu diatur bagaimana dengan simpanan Tapera mereka serta akses untuk memiliki rumah. Semua ini harus diatur jelas dalam sebuah regulasi sehingga pemanfaatan dari tabungan Tapera tersebut menjadi jelas.

Adanya regulasi yang jelas dan transparansi dalam pengelolaan akan berdampak besar bagi pekerja serta meningkatkan kepercayaan investor. Hal ini penting karena investor juga dibebani membayar Tapera pekerja sebesar 0,5%. Investasi tentunya adalah cara terbaik untuk memajukan perekonomian sebuah bangsa. Baru-baru ini, entah apa yang terjadi, sehingga perusahaan besar sekelas Tesla, Google, dan Apple justru lebih memilih untuk berinvestasi triliunan rupiah di Malaysia dibandingkan dengan Indonesia.

Tentunya masalah ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan investor. Para investor asing akan lebih memilih negara yang memiliki trust tinggi di mata mereka, dengan melihat berbagai hal, salah satunya adalah sistem penegakan hukum dan regulasi yang ada di dalam sebuah negara. Masalah korupsi yang sering mereka dengar dan lihat di media akan semakin membuat investor takut untuk berinvestasi di negara yang sering menayangkan kasus korupsi. Kita berharap simpanan Tapera tidak membuka peluang baru untuk kasus korupsi. (*)

News Feed