English English Indonesian Indonesian
oleh

Theodor Meron

Oleh: Aidir Amin Daud

Israel amat murka kepada Karim Khan — Kepala Jaksa Kriminal pada Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Khan mengajukan perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Dua koran terkemuka Israel menuliskan judul Headline mereka: ‘Kemunafikan Den Haag’ dan ‘Aib Den Haag’. Kemarahan banyak orang di Israel terhadap Khan dengan menyebutkan bahwa ia menyulut ‘api antisemitisme’. Apalagi sebagian besar orang Israel masih berpandangan: bahwa HAMAS lah yang mulai kekejian kepada Israel. Meskipun mungkin sebagian orang ini juga melupakan bahwa apa yang dilakukan HAMAS adalah kemarahan atas ‘penindasan’ dan ‘kekejaman’ yang terlalu panjang dari Israel kepada Palestina.

**
Namun tak banyak yang tahu, bahwa sebelum mendalilkan tuduhan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan — Khan sesungguhnya sudah memberikan segala bahannya kepada para anggota Komite di ICC yang terdiri dari para ahli terkemuka di bidang hukum perang. Mereka sepakat bahwa “ada alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa Netanyahu dan Gallant telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam yurisdiksi ICC.

Gershom Gorenberg — seorang jurnalis Israel dan sejarawan — menuliskan sekaligus mengungkapkan salah seorang ahli ‘kejahatan perang’ yang menjadi anggota komite. Theodor Meron — seorang penyintas Holocaust berusia 94 tahun, ahli hukum, dan mantan diplomat Israel. Gorenberg pernah melakukan penelitian tentang sejarah pemukiman Israel di wilayah pendudukan ‘The Accidental Empire’ dan saat meneliti 20 tahun lalu itulah yang menemukan nama ‘T.Meron’ terkait PM Israel saat itu Levi Eshkol — dalam salah satu yang file yang diklasifikasikan sebagai ‘paling rahasia’.

‘T.Meron’ yang kemudian diyakini sebagai Theodor Meron — lahir pada tahun 1930 dari keluarga Yahudi kelas menengah di Kalisz, Polandia. Masa kecilnya bahagia tapi hanya berlangsung 9 tahun. Kebahagian keluarganya berakhir saat invasi Jerman. Dia selamat dari Holocaust saat tinggal di ghetto dan kamp kerja paksa Nazi. Sebagian besar keluarganya tidak. Setelah perang dalam usia 15 tahun Meron berimigrasi ke kota Haifa — wilayah yang saat itu merupakan Palestina yang dikuasai Inggris. Ia belajar keras dan menyelesaikan pendidikan hukumnya di Universitas Ibrani dan meraih beasiswa hingga gelas doktor hukum di Harvard University. Ia juga sempat mengikuti studi pasca doktoral dalam hukum internasional di Cambridge.

Pada tahun 1957, tanpa posisi akademis, ia menerima tawaran dari Kementerian Luar Negeri Israel. Tepat setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967, ia ditunjuk sebagai penasihat hukum kementerian—yang sebenarnya merupakan otoritas tertinggi pemerintah Israel dalam hukum internasional—saat ia berusia 37 tahun.

Saat itu, Perdana Menteri Eshkol sedang mempertimbangkan apakah Israel harus membangun pemukiman di wilayah yang telah ditaklukkannya dalam perang tak terduga tiga bulan sebelumnya. Eshkol cenderung membangun kembali Kfar Etzion, sebuah kibbutz yang telah dikuasai oleh pasukan Arab pada tahun 1948.
Namun, dalam rapat kabinet, Menteri Kehakiman telah memperingatkan bahwa menempatkan warga sipil di wilayah yang “diadministrasikan”—istilah pemerintah untuk tanah yang diduduki—akan melanggar hukum internasional.

Saat itu Meron memberikan pertimbangan: bersifat kategoris: Membangun dan menempatkan kalangan sipil di wilayah yang dikelola bertentangan dengan ketentuan eksplisit Konvensi Jenewa Keempat. Konvensi tahun 1949 tentang perlindungan warga sipil pada saat perang, jelasnya, melarang kekuatan pendudukan memindahkan sebagian penduduknya ke wilayah yang diduduki. Meron saat itu menegaskan ketentuan itu, bertujuan untuk mencegah penjajahan oleh negara penakluk.

**
Sesungguhnya Theodor Meron menunjukkan sikapnya sebagai seorang ilmuwan sejak ia masih menjadi pejabat di Israel. Ia pernah menjadi Dubes dan kemudian menjadi hakim pada ICC — lembaga yang ‘landasan hukumnya’ diinspirasi oleh tulisan hukumnya. Ia menjadi hakim di ICC beberapa tahun silam. Dalam sebuah wawancara, dia mengatakan bahwa posisinya “menyedihkan” dan “menakutkan”: dia pernah menjadi tahanan anak-anak Nazi yang kini memimpin keputusan atas kejahatan termasuk genosida. Dan kali ini, ia tidak menolak dalil Khan bahwa Netanyahu dan Gallant sudah melakukan kejahatan yang sama. Poignant and daunting.**

News Feed