English English Indonesian Indonesian
oleh

Seniman Rindukan Societeit De Harmonie

Oleh Mahrus Andis/ Seniman

Sebuah wilayah budaya berdimensi Kota Dunia, seperti halnya Sulawesi Selatan, terlalu miris jika tidak memiliki gedung pertunjukan kesenian. Isue ini merebak kembali seusai Pengurus Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS) melaksanakan Rapat Kerja 2024 di Malino. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah bangunan bekas tempat pertunjukan kesenian di zaman penjajahan.

Gedung tua peninggalan Belanda ini bernama Societeit de Harmonie. Dulu, di era pemerintahan gubernur H. Z. Palaguna, tempat tersebut dimanfaatkan oleh para seniman dan cendekiawan budaya Sulawesi Selatan untuk berekspresi serta melahirkan gagasan kesenibudayaan, baik yang berskala lokal maupun nasional, bahkan internasional.

Di gedung inilah pusat lahirnya para seniman dan pemikir-pemikir budaya Sulsel. Beberapa tokoh yang sempat melekat di memori saya, yaitu: Mattulada, Zainal Abidin Farid, HD.Mangemba, Andi Rasdiyanah Amir, Rahman Arge, Husni Djamaluddin, Arsal Al Habsi, Andi Rio DaEng Riolo, Fachruddin Ambo Enre, Aspar Paturusi, Ishak Ngeljaratan, Ida Yusuf Madjid, Nurhani Sapada, Munasiah Nadjamuddin, M.Anwar Ibrahim, Fahmi Syariff, Udhin Palisuri, Ali Walangadi dan lain-lain.

Sebagai bentuk kerinduan atas kiprah kreatif mereka di gedung kesenian, saya tulis dalam bentuk puisi di tahun 2017, seperti berikut:

SOCIETEIT DE HARMONIE *)

(Laras Panjang bagi Seniman
yang Terus Bangkit)

Melintasi jari-jari zaman
aroma masa silam menebar gelisah
Geliat risau menyengat
ingin berlabuh dalam dekap alam
Seperti dulu
ketika Adam dan Hawa bertemu
gunung menghamilkan kasih sayang
hutan belantara memeluk hening
dan sungai-sungai mengalirkan cinta

Sekian lembar syair yang getir
telah lahir jadi syair
dari rahim para penyair

Lukisan kepedihan di kanvas nasib
berlepotan warna-warni yang sembab
suara petualang tak pernah letih
berteriak tentang:
luka-luka
kemanusiaan
Semua tercatat di sini
dalam nyeri diammu
dalam pekat gua hari-hariku

Societeit de Harmonie
Aku mengenangmu pada beribu wajah
Bagaimana gelegar Rahman Arge
bura’ne kassaka ri tonasa’ batang jambua
I Tolo’ DaEng Magassing
mandor kehidupan yang selalu setia
pada detak nurani
pada filosofi:
Mate nisantangi

Betapa Husni Djamaluddin begitu dekat
mengapak sajak
melipat langit
menghalau kabut dari sukma yang berdebu

Di sini pun aku mendengar bisik lembut DaEng Mangemba
mengusung pangadakkang
melambaikan lontara’ dari sombaya

Aspar Paturusi yang tak pernah jenuh
mengayuh perahu nuh
mengejar pulau yang jauh
entah
di dermaga siapa ia berlabuh

Societeit de Harmonie
Di lumut siang malammu
kukenang engkau
lewat wajah-wajah yang sejuk

Arsal Al Habsyi
wartawan koboi yang gelaknya berderai
mengetuk pintu kekasih
mencari jejak I Palaguna

Ishak Ngeljaratan
kemarin engkau bercumbu dengan maut
setelah sekian tahun mengembara
menggugat takdir di cakrawala
kemudian bertanya:
“Tuhan, mengapa bukan aku
yang Engkau wariskan
melahirkan ibuku !”

Aku rindu Sinansari Ecip
tak kudengar lagi lagunya yang sumbang
seruling negeriku
di kelopak jantung KaraEng Pattingalloang

Aku risau Ramto Ottoluwa
Kajao Laliddong yang terkikis dari buku-buku tua
kritiknya tercecer
terburai di kolong pertunjukan kata-kata

Tak ingin aku kehilangan Fahmi Syariff
lelaki yang gigih mau mati dalam konsep teater
di saat orang menggempurnya dengan caci maki
atas nama kreativitas dan keseimbangan panggung

Ke mana senyum tipis Nunding Ram
ketika rindu terpendam
tergerus pupus balada cinta di langit kampus ?

Societeit de Harmonie
Di sini aku pernah kehilangan kekasih
Ichsan Saleh Andi Rio DaEng Riolo
penyair absurd
pemilik kredo:
hidup adalah gerak
walaupun tanpa bunga-bunga

Eman Anwar Ibrahim
penikmat puisi haiku dari Jepang
penyungging senyum miring yang sering bengis
namun terkadang manis
bernyali Bugis

Berjuta tekstur Ali Walangadi
menggores luka pengembaraan
bagi jiwa-jiwa yang dahaga

Terbayang Udhin Palisuri
wajah tegar di atas mimbar
dengan perkasa menggaungkan prosa kecil pada kalian
orang-orang tercinta

Andi Mochtar Mariowawo
kukenang engkau pada kearifan yang tulus
kudebat engkau pada imaji yang merdeka
Di ujung pertapaan
kita pun berpelukan
dalam kerangkeng walasuji
I Mangkawani
uleng lolo labu’ede

Di sana
di sudut panggung yang getar
lentur gema suara Jakob Marala
menggebrak auditorium:
“Cordovaaa …
Sayup-sayup dan sepiii …
Rick dari Corona telah di sini
Di manakah engkau
Betsi !?”

Ah, ke siapa lagi kutemukan wajah sinis Ridwan Efendy
wartawan dari Karuwisi
yang tak pernah tuntas menulis logika puisi

Dan, Asdar Muis
Engkau begitu cepat dalam gegas di jalan hening
ketika seniman dan budayawan mulai berkemas
menabuh genderang bersamamu
di kancah perang
melecut lagi sunyi di sini
merebut kembali gedung ini
ke pelukan seni

Societeit de Harmonie
Dengan perih aku mengenangmu
Dengan rintih sukmaku tercabik
Dalam kelopak rindu
Rinduku.
Mks, 2017

Puisi ini berulang kali mengalami revisi. Namun, kodratnya sebagai tuntutan nurani seniman, tak akan luluh. Ia selalu hadir menagih sumpah “dokumen hak seniman” melalui prasasti peresmian gedung oleh Gubernur Sulsel H. Zainal Palaguna.

Mks, 5 Juni 2024


*) Societeit de Harmonie, bangunan tua di zaman Belanda yang telah direnovasi oleh Pemerintah Provinsi dan diresmikan penggunaannya untuk kegiatan kesenibudayaan melalui “dokumen prasasti”. Gedung pertunjukan tersebut masih utuh berdiri sebagai situs sejarah, hingga saat ini. Namun pemanfaatannya bukan lagi hak seniman dan budayawan. *

News Feed