Oleh Mahrus Andis, Seniman
Betulkah seniman malas salat? “Tidak. Atau mungkin tidak semua”. Itulah jawaban saya atas hadirnya pertanyaan ini. Kecapaian merampungkan agenda Rapat Kerja Dewan Kesenian Sulsel (DKSS), sejak 31 Mei hingga 1 Juni 2024, tidak mendegradasi relasi seniman dengan Tuhannya.
“Hidup ini simpel. Tak jelas batas kontrak kita untuk bernapas”, kata Ram Prapanca di saat terbangun dari nyenyak tidurnya di subuh hari, 2 Juni 2024. Ram, yang sekamar dengan saya di villa di atas bukit-Malino, tiba-tiba mengajak saya salat subuh berjamaah. Lalu, saya segera bereaksi dengan menawarkan ia jadi imam.
“Ah, jangan ! Kak Mahrus saja. Saya sering lupa bacaan”, tolak Ram setelah mengambil air wudu.
Maka, di subuh yang bening ini, kami pun salat berjamaah, bermunajat kepada Allah Rabbun Jalil, memohon keberkahan hidup.
Betapa damai perasaan saat usai “bertemu” dengan Tuhan. Saya dan Ram seakan terbebas dari semua himpitan hidup, apalagi tak ada beban hutang di warkop samping rumah.
Salat bagi seniman adalah inti kesadaran spiritual-estetik. Salat adalah seni beribadah untuk meraih nikmat “kemahaindahan Allah”: Tuhan Yang Maha Artistik. Karena itu, Ram Prapanca yang sering dimarahi istrinya jika tidak salat di rumah (sesuai ceritanya), merasa beruntung bisa sekamar dengan saya.
“Syukur kita sekamar. Aku tiba-tiba ingat istri saya”, kata Ram seusai salat. Saya terperanjat, lalu menggeledah ucapan itu.
“Iiih, geli. Apa maksudmu, Ram ?” tanya saya.
“Kak Mahrus mirip istriku,” katanya lagi semakin membuat saya curiga.