English English Indonesian Indonesian
oleh

Pencitraan dalam Pemilihan Kepala Daerah : Sebuah Sandiwara Politik

Oleh: Abd. Rasyid (Dosen Sosiologi Agama IAIN Parepare)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah momen yang sangat penting dalam demokrasi lokal di Indonesia. Pilkada selalu menjadi ajang yang menarik untuk diamati. Tahun 2024 ini menjadi panggung pertunjukan drama politik oleh para aktor dan kontestan politik mengingat akan diselenggarakan pemilihan Kepala Daerah secara serentak. Di tengah semarak kampanye dan janji-janji politik, suatu fenomena yang selalu mencuri perhatian adalah pencitraan. Pencitraan dalam konteks Pilkada yaitu pola interkasi calon Kepala Daerah untuk membangun dan memperkuat citra positif di mata masyarakat. Namun, pencitraan ini sering kali menimbulkan pertanyaan kritis, apakah yang kita lihat adalah kenyataan atau sekadar ilusi yang dibangun dengan cermat?

Dalam ilmu sosiologi dikenal salah satu teori interaksi yang cukup populer yakni “Dramaturgi” yang dikemukakan oleh sosiolog Erving Goffman (1959). Goffman mengibaratkan interaksi sosial sebagai sebuah pertunjukan teater, di mana setiap individu berperan sebagai aktor yang memainkan peran tertentu di depan penonton. Dalam konteks politik, para politisi adalah aktor-aktor yang sedang bermain di panggung politik, dan masyarakat adalah penonton yang menilai pertunjukan mereka.

Teori dramaturgi ini menunjukkan bagaimana politisi harus selalu sadar akan peran mereka sebagai aktor di panggung politik. Mereka harus bisa mengelola impresi dengan baik, memilih panggung yang tepat, dan memainkan peran yang sesuai dengan harapan publik untuk membangun citra terhadap pencapaian tujuan politik mereka. Namun, seperti dalam teater, pertunjukan politik juga bisa berakhir dengan kejutan, ketidakjelasan bahkan mengecewakan, dan politisi harus siap menghadapi konsekuensi serupa dari pertunjukan mereka.

Tidak bisa dipungkiri, pencitraan adalah alat yang sangat efektif dalam politik. Di era digital ini, citra bisa dibentuk melalui berbagai media, mulai dari televisi, radio hingga media sosial. Calon kepala daerah menggunakan berbagai cara untuk membangun citra yang dapat menarik simpati dan dukungan masyarakat, misalnya kunjungan ke pasar tradisional dan kunjungan ke daerah-daerah terisolir, berfoto dengan anak-anak dan lansia, hingga berjanji untuk memperbaiki infrastruktur dan layanan publik.

Dalam beberapa kasus, pencitraan ini berhasil dengan baik. Masyarakat yang melihat seorang calon secara konsisten menunjukkan kepedulian dan kedekatan dengan mereka cenderung memberikan dukungan. Citra positif yang dibangun melalui media massa dan media sosial dapat menciptakan persepsi bahwa calon tersebut adalah sosok yang ideal untuk memimpin daerah.

Namun, di balik kesuksesan pencitraan, sering kali terdapat jurang pembeda antara apa yang ditampilkan dan realitas yang sebenarnya. Banyak calon yang tampil dengan citra merakyat, namun kenyataannya tidak memahami atau tidak memiliki kemampuan untuk menangani permasalahan daerah secara efektif. Hal ini akan menciptakan situasi di mana masyarakat merasa tertipu setelah pemimpin yang mereka pilih ternyata tidak mampu memenuhi ekspektasi.
Pencitraan yang berlebihan dan tidak didukung oleh kompetensi dan integritas yang sebenarnya hanya akan menghasilkan kekecewaan. Dalam jangka panjang hal ini bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan meningkatkan money politic dan pragmatisme pemilih.

Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dan cerdas dalam menilai calon kepala daerah. Pencitraan memang penting, tetapi harus diimbangi dengan penilaian yang komprehensif terhadap kapasitas, rekam jejak, dan visi-misi calon.

Pencitraan dalam Pilkada adalah fenomena yang tidak bisa dihindari dalam politik modern. Namun, sebagai pemilih atau penonton yang bijak, kita harus mampu melihat lebih dari sekadar citra yang ditampilkan. Penilaian yang menyeluruh dan kritis terhadap calon kepala daerah adalah kunci untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi daerah kita. Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa Pilkada tidak sekadar menjadi ajang pencitraan, tetapi juga proses demokrasi yang menghasilkan pemimpin berkualitas dan berintegritas.

Bertolt Brecht sangat menekankan pada pentingnya pemisahan antara penonton dan tokoh dalam sebuah drama. Brecht berpendapat bahwa drama harus membuat penonton tetap kritis dan tidak terlalu terlibat secara emosional dengan tokoh-tokoh dalam cerita. Dengan cara ini, penonton diharapkan mampu menganalisis dan memahami isu-isu sosial yang dibahas dalam drama tersebut.

Jika diterapkan pada pencitraan dalam pemilihan kepala daerah, teori ini menawarkan pandangan bahwa setiap kandidat adalah seorang pemeran yang memainkan peran tertentu untuk mencapai tujuannya, yaitu memenangkan pemilihan. Kandidat-kandidat ini, dengan sadar atau tidak, menggunakan elemen-elemen drama seperti plot, konflik, karakter, dan tema untuk membangun citra yang diharapkan dapat memikat pemilih.

Plot dalam pencitraan politik ini adalah strategi kampanye yang dirancang untuk menarik perhatian publik dan membuat cerita yang menarik tentang kandidat. Konflik yang dimainkan adalah perbedaan antara kandidat dan lawan-lawannya, atau antara kandidat dengan masalah-masalah yang dihadapi daerah.

Karakter kandidat dibangun dengan cermat, menampilkan sisi yang dianggap paling menarik dan relevan untuk pemilih, seperti kepemimpinan, integritas, atau kemampuan untuk membawa perubahan. Tema yang diangkat dalam pencitraan politik biasanya berkisar pada janji-janji politik, visi masa depan daerah, dan solusi yang ditawarkan kandidat untuk masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Kandidat berusaha untuk membuat tema ini menjadi pesan utama yang dikomunikasikan kepada pemilih.

Pemilih harus mampu melihat di balik sandiwara yang dibangun oleh kandidat dan menganalisis apakah janji-janji politik dan citra yang dibangun benar-benar memiliki dasar yang kuat dan realistis. Pemilih harus bertanya: Apakah kandidat ini benar-benar memiliki kemampuan untuk melaksanakan janji-janjinya? Apakah citra yang dibangunnya sesuai dengan realitas dan sejarah kepemimpinannya?

Dalam konteks ini, pencitraan dalam pemilihan kepala daerah bukan hanya sekedar sandiwara politik, tetapi juga sebuah arena di mana pemilih harus aktif dan kritis dalam menilai para kandidat. Pemilih harus mampu melihat di balik tirai sandiwara dan memilih kandidat yang memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk membawa perubahan positif bagi daerah.

Pada akhirnya, pencitraan dalam pemilihan kepala daerah adalah sebuah strategi politik yang tidak terlepas dari dinamika sosial dan politik yang lebih luas. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip teori drama turgi, pemilih dapat menjadi penonton yang lebih kritis dan cerdas dalam memilih pemimpin yang benar-benar layak memimpin daerah. (*)

News Feed