Oleh: M. Raihan Ghufran, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki letak geografis strategis di antara beberapa pulau dan benua. Kondisi ini menyebabkan Indonesia berbatasan langsung dengan berbagai negara tetangga, baik di wilayah darat maupun wilayah laut. Di wilayah darat, Indonesia berbatasan dengan tiga negara, yaitu Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Sedangkan di wilayah laut, Indonesia memiliki batas maritim berupa batas laut teritorial, batas landas kontinen, dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan sepuluh negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Timor Leste, dan Australia.
Salah satu wilayah yang menjadi sengketa perbatasan laut antara Indonesia dan Australia adalah Pulau Pasir. Pulau Pasir terletak di Samudera Hindia, dengan jarak sekitar 60 mil laut dari Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, dan sekitar 320 km dari pantai barat Australia. Secara sejarah, Pulau Pasir telah dikelola dan dimanfaatkan oleh nelayan tradisional Indonesia, khususnya dari Pulau Rote, selama ratusan tahun. Namun, Australia juga mengklaim kepemilikan atas Pulau Pasir berdasarkan perjanjian penyerahan dari Inggris pada tahun 1931.
Penetapan batas wilayah dan yurisdiksi negara merupakan hal yang sangat penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan pengaturan permasalahan kedaulatan, hak-hak berdaulat, dan yurisdiksi suatu negara terhadap zona-zona maritim sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982. Oleh karena itu, perjanjian perbatasan antara Indonesia dan Australia harus dikaji kembali dengan menggunakan ketentuan yang tertuang dalam UNCLOS 1982, terutama Pasal 51 yang mengatur tentang pengakuan hak-hak perikanan tradisional suatu negara yang telah berlangsung lama.
Sengketa antara Indonesia dan Australia terkait pemanfaatan sumber daya laut di Pulau Pasir serta pentingnya mengkaji masalah ini dari perspektif hukum laut internasional, khususnya UNCLOS 1982.
Kesepakatan yang ditandatangani dalam The 6th Working Group on Marine and Fisheries (WGMAF) Indonesia dan Australia pada tahun 2009. Dalam pertemuan ini, kedua negara sepakat untuk bekerjasama dalam penanganan kapal induk (mothership) yang dioperasikan untuk mendukung kapal perikanan ilegal yang beroperasi di perairan sepanjang perbatasan kedua negara.
Terdapat dua perjanjian penting yang pernah disepakati oleh kedua negara dalam aturan batas wilayah. Pertama adalah MoU Box 1974 yang mengatur tentang hak dan kewajiban nelayan tradisional, ketentuan penangkapan ikan, dan ketentuan lainnya di gugusan Pulau Pasir. Kedua adalah kesepakatan “Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Indonesian and Australia on Fisheries” pada tahun 1989. Ketiga adalah perjanjian di Perth pada 14 Maret 1997 tentang penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan batas-batas laut tertentu, yang juga tidak mengurangi hak tradisional nelayan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Kelemahan diplomasi Indonesia membuat pengaturan batas maritim antara Indonesia dan Australia di Laut Timor menjadi tumpang tindih, sehingga akhirnya lebih menguntungkan Australia dan mengorbankan nelayan tradisional Indonesia yang telah menjadikan Pulau Pasir sebagai lahan kehidupan. Pemahaman Australia tentang nelayan tradisional juga harus ditinjau ulang oleh kedua pemerintah negara masing-masing.
Konjen Australia di Makassar, Todd Diaspada kunjungannya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin pada tanggal 5 April 2024 dalam mengisi kuliah mengenai Sejarah Australia dan Kawasan Pasifik Selatan menjelaskan bahwa masalah pulau Pasir atau Ashmore Reef telah dijelaskan dalam MoU Box 1974 bahwa pulau tersebut dahulunya milik Inggris yang kemudian diberikan kepada Australia. Sejak dahulu memang nelayan dari Nusantara telah lama menangkap ikan di pulau tersebut dan lokasinya lebih dekat dari pulau Rote.Abdulkadir Jaelani juga dalam tweetnya telah memberikan informasi bahwa pulau Pasir merupakan milik Australia.
Tumpang tindihnya antara hukum adat dan juga hukum formal (positif) menjadi penyebab masalah ini terus berlanjut. Masyarakat adat Laut Timor mengancam untuk mengajukan gugatan kepada Australia, tetapi hal tersebut hampir mustahil karena hukum formal yang dalam hal ini MoU Box 1974 dan UNCLOS (United Nation Convention On the Law of The Sea) lebih kuat landasannya dibandingkan masyarakat adat yang hanya mengklaim nenek moyang mereka telah lama mencari ikan di Pulau Pasir. (*)