Berawal dari hobi bersepeda dan eksplorasi alam, Sayudi, 53 tahun menguji kemampuan menempuh perjalanan selama enam bulan menuju tanah suci Makkah.
ERNIWATI
MADINAH
Dia melintasi laut, sungai dan banyak perbatasan. Melihat banyak tempat dan bertemu dengan orang-orang baik di perjalanan. Sayudi berangkat dengan kepasrahan kepada Allah SWT bahwa sang pemilik alam akan menjaganya.
Pria bertubuh jangkung ini termasuk tipe orang yang sangat bersemangat. Meski usianya tidak lagi muda, Sayudi mampu menundukkan ketakutannya tentang hal-hal tidak baik yang mungkin ditemuinya di perjalanan. Dia pun berhasil meyakinkan anak dan istri tentang semangatnya mencapai kota Makkah dengan modal sepeda yang dibelinya dengan harga Rp15 juta.
Melalui sepeda, Sayudi tidak hanya ingin memenuhi spirit petualangannya tetapi menjadikan sepeda sebagai simbol sehat dan kelestarian alam. Sebagai orang yang pernah bekerja pada kilang di lautan, dia menyaksikan bagaimana alam dieksplorasi dan dieksploitasi. Bersepeda menjadi bagian dari upayanya mengampanyekan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan kesehatan.
Sayudi tiba di Makkah pada pekan pertama Mei 2024. Sepedanya membawa beban sekitar 165 kg. Untuk tiba di Makkah, dia harus menempuh perjalanan 30.000 km dengan titik star Banyuwangi, Jawa Timur.
Sebelum menempuh perjalanan yang panjang itu, Sayudi sudah mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan buruk. Dia lantas melakukan uji coba dengan berkeliling Pulau Jawa sebanyak sepuluh kali dengan menyesuaikan jarak tempuh ke Makkah. “Saya keliling pulau Jawa sepuluh kali. Saya sesuaikan dengan jarak tempuh ke Makkah,” cerita Sayudi dengan penuh semangat.
Dalam sehari dia mengayuh sepeda rata-rata 20 jam. Memilih menginap di mana pun saat dia merasa sudah lelah. Meski begitu, dia tidak pernah menetap di hotel karena bisa membuatnya terlelap dan waktunya akan terkikis.
Stasiun pengisian bahan bakar dan fasilitas umum di berbagai kota yang dilewatinya menjadi pilihannya. Selain lebih aman, juga bisa menumpang mandi dan aktivitas lainnya. Di perjalanan dia menemukan banyak cerita, termasuk bertemu binatang buas, melewati gua yang menjadi tempat mistis.
Rute perjalanan dari Banyuwangi lalu melintasi pulau Sumatera, ke Jambi dan Dumai. Memasuki wilayah Malaysia. Melewati perbatasan Malaysia dan Thailand. Dan ada pula cerita saat bertemu salah satu pangeran muda negara jiran. Sang pangeran dan istri terharu saat mengetahui tujuan perjalanannya adalah kota suci Makkah.
Pemeriksaan yang ketat saat hendak memasuki negara China di perbatasan Laos. Sayudi diinterogasi hingga satu jam. “Saya tidak Berhaji karena Tidak Punya Visa Haji”
Menempuh perjalanan yang panjang selama enam bulan untuk menggapai kota suci Makkah dan Madinah. Uang yang dihabiskan sekitar Rp50 juta. Sepeda beberapa kali rusak. Khususnya bagian jari-jari dan rantai. Beruntung dia punya kemampuan memperbaiki sepeda. Dia pun beberapa kali membantu sopir truk yang ban mobilnya pecah di perjalanan. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kadang ada yang memberikan tip tapi dia tolak. “Saya hanya berharap dari Allah SWT,” katanya.
Saat memasuki Arab Saudi, sudah memasuki musim haji, namun Sayudi menyadari bahwa dia tidak mungkin berhaji karena tidak memegang visa haji. Sayudi yang mendapat izin tinggal selama 90 hari ingin memanfaatkan waktu itu dengan mewakafkan diri untuk membantu jemaah haji yang membutuhkan pertolongan. Untuk itu, sepedanya di parkir di dekat Gunung Uhud dan mengisi waktu selama di tanah suci dengan mendatangi tempat-tempat yang ramai oleh jemaah haji Indonesia. “Kalo gak pegang visa haji masa mau berhaji. Harus taat pada aturan,” tambahnya.
Selama perjalanannya, dia berkomunikasi dengan warga setempat dengan menggunakan bahasa isyarat. Seperti di pedalaman negara China dan Thailand. Meski hanya menggunakan isyarat, Sayudi tetap kerap merasakan kebaikan-kebaikan orang yang ditemuinya di perjalanan. Seperti saat sepeda rusak selalu ada warga yang menawarkan bantuan. Bahkan ada yang menawarkan penginapan. “Saya lebih banyak memilih untuk tidur di alam. Berbekal tenda, dan panic kecil. Saya sudah bisa melewati hari-hari melintasi sungai dan hutan,” kata Sayudi.
Tenda yang dibawanya pernah terbang dibawa angin sehingga dia hanya berbekal sleeping bag untuk beristirahat. “Tenda saya terbawa angin. Terpaksa pakai selimut tidur untuk istirahat,” cerita suami dari Rohdiana ini.
Untuk kebutuhan makan saat berada di hutan atau wilayah yang tidak ada rumah penduduk, Sayudi mengandalkan yang tersedia di alam. Memakan dedaunan atau buah-buahan yang ada di sekitarnya dengan belajar pada binatang. Jika binatang memakan daun atau buah itu, maka dia yakin aman mengonsumsi.
Perjalanan pulang, Sayudi sudah memegang tiket pesawat. Hanya saja dia memilih turun di Thailand. Menuju tanah air, dia kembali mengayuh sepeda. Menikmati keindahan alam. Alam Indonesia kata dia, tidak kalah indah dengan negara-negara lain. Pelestarian harus dilakukan. Alam Indonesia jangan hanya dieksploitasi. (*/ham)