Sejalan dengan hal tersebut, dengan berkembangnya AI yang semakin canggih, akan semakin sulit membedakan karya asli manusia dengan yang dihasilkan mesin. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis tentang kepemilikan dan nilai karya tersebut. Apakah karya yang sepenuhnya dihasilkan AI masih bisa diklaim sebagai karya orisinal manusia? Pertanyaan ini penting untuk dijawab agar tidak terjadi eksploitasi atau pengakuan yang tidak semestinya.
Dari perspektif etika pendidikan, penggunaan AI yang tidak terkendali juga berpotensi mengikis nilai-nilai luhur yang seharusnya ditanamkan kepada peserta didik, seperti kreativitas, kerja keras, kejujuran, dan tanggung jawab. Jika siswa atau mahasiswa hanya mengandalkan AI untuk menghasilkan karya, mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan menulis yang penting. Demikian pula kepada para akademisi agar tidak dengan mudah dikelabui oleh hasil karya mahasiswanya dengan terus berupaya meningkatkan pengetahuannya baik di bidang ilmunya sendiri maupun mulai berteman akrab dengan kemajuan teknologi dan AI.
Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan upaya kolektif dari pemangku kepentingan pendidikan. Lembaga akademik perlu menetapkan pedoman dan peraturan yang jelas tentang batasan penggunaan AI dalam karya akademik. Kode etik akademik yang mengintegrasikan prinsip-prinsip etika dalam penggunaan AI perlu dikembangkan dan disosialisasikan secara luas. Selain itu, pendidikan etika dan integritas akademik harus semakin diintegrasikan dalam kurikulum, terutama dalam menghadapi tantangan teknologi baru seperti AI. Peserta didik/mahasiswa perlu dibekali pemahaman yang kuat tentang prinsip-prinsip etika, kejujuran, dan tanggung jawab akademik agar dapat menggunakan teknologi seperti AI dengan cara yang bertanggung jawab.