Survei global UNESCO yang dilakukan pada Mei 2023 terhadap lebih dari 450 institusi pendidikan di Afrika, Timur Tengah, Asia, Pasifik, Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Latin menunjukkan kurang dari 10% dari mereka memiliki kebijakan atau panduan resmi terkait pemanfaatan AI dalam pendidikan. Hal ini mencerminkan kebingungan dalam merespons perkembangan pesat AI yang mampu menghasilkan karya mirip manusia, termasuk mencapai nilai tertinggi dalam tes standar. Meskipun pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran tak terhindarkan, dibutuhkan pedoman penggunaan AI yang mempertimbangkan risiko pelanggaran regulasi, plagiarisme, dan etika akademik guna menghindari penyalahgunaan di institusi pendidikan.
Plagiarisme merupakan tantangan utama pada potensi penyalahgunaan AI. Meskipun AI mampu menulis esai, laporan, atau bahkan kode program, namun terdapat risiko bahwa siswa, mahasiswa atau peneliti dapat memanfaatkannya untuk menyalin atau menghasilkan karya yang tidak asli. Sehingga hal ini menimbulkan masalah serius karena mengurangi kredibilitas hasil karya mereka. James Thorley selaku Wakil Presiden Regional Turnitin Asia Pasifik menyatakan kalangan akademisi di Asia Tenggara, terutama Indonesia, menyadari dampak positif dan negatif kemunculan beberapa platform peralatan AI seperti ChatGPT, Claude, Perplexity, Copilot, dan chatbox lainnya dalam pendidikan. AI berpotensi membantu pembelajaran, kekhawatiran tetap ada bahwa ketergantungan berlebihan dapat menghambat pemikiran kritis siswa dan mengancam integritas akademik yang penting bagi kemajuan masyarakat.