Oleh: Mustajab al-Musthafa, Analis Politik
Jalur Gaza—yang melalui Perjanjian Oslo—merupakan wilayah yang berada dalam penguasaan Otorita Palestina itu telah menjadi sorotan dunia hampir setahun terakhir akibat serangan Israel.
Kini wilayah itu porak-poranda dan menunju kehancuran sejak serangan 7 Oktober tahun lalu. Satu-satunya kota yang menjadi tempat pengungsian setelah Gaza Utara (Gaza City) dan Tengah (Khan Younis) hancur adalah Rafah. Tetapi kini wilayah itu juga sedang menjadi sasaran serangan Israel. Prakris tidak ada wilayah yang aman di Jalur Gaza.
Korban serangan telah mencapai 40.000 jiwa meninggal dunia, ratusan ribu terluka dan sekitar 1,5 juta jiwa yang hidup di pengungsian, utamanya di wilayah Rafah dalam kondisi serba kekurangan dan ancaman kematian akibat bom dan invasi pasukan Israel. Suatu serangan paling brutal yang pernah terjadi di era milenium ini. Serangan yang lebih tepat disebut sebagai genosida, bukan perang. Karena sasarannya adalah permukiman warga sipil yang menyasar siapa saja, termasuk anak-anak. Bahkan separuh korbannya adalah anak-anak.
Jalur Gaza yang memiliki panjang 41 km dan lebar 10 km itu berbatasan dengan Mesir di sebelah barat dan Israel di sebelah timur dan utara serta sebelah selatan adalah Laut Mediterania. Wilayah darat Gaza yang berbatasan dengan Mesir dan Israel dipasangi Tembok Raksasa dan Jeruji Besi. Wilayah lautnya pun diawasi oleh Israel. Praktis Gaza lebih tepat disebut sebagai penjara besar dan terbuka.
Penduduk wilayah tersebut tak memiliki akses keluar kecuali melalui pintu-pintu resmi yang dijaga oleh pihak Israel atau melalui terowongan rahasia yang mereka gali. Ketika terjadi serangan atas wilayah tersebut, sebagaimana yang terjadi hampir setahun terakhir ini, penduduknya hanya bisa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dalam wilayah tersebut. Ketika terjadi serangan di Gaza Utara (Gaza City), mereka mengungsi ke Gaza Tengah (Khan Younis) dan ketika wilayah itu juga diserang, mereka menuju Barat (Rafah). Dan kini Rafah pun diserang.