Dari berbagai rangkaian acara, satu hal yang paling menaruh perhatian ialah garapan Tari Kolosal yang mengangkat tentang sejarah masuknya Islam di Takalar, kemudian dikemas dalam paduan seni dan teknologi. Secara keseluruhan, Tari Kolosal berdurasi 20 menit, diawali dengan visual mapping yang menerangi kubah-kubah sebagai latar dari panggung utama. Kemudian, pada sisi kiri dan kanan LED panggung ditampilkan short video documentary yang memberikan tampilan visualisasi tentang sejarah Islam di Takalar.
Selain itu, ada pula sajian simbol yang merepresentasikan ciri khas Takalar yang disajikan dalam visual mapping di awal pembuka Tari Kolosal. Adapun di antaranya ialah Lipang yang menjadi simbol daerah Lipang Bajeng, simbol ini menggambarkan gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia; tradisi Maudu Lompoa yang mewakili daerah Cikoang yang bermakna tanda syiar Islam yang dibawa oleh Sayyid Jalaluddin Al-Aidid pada abad ke 17; Patorani yang merupakan warisan para Tubarani Galesong mengenai pengetahuan dalam menangkap ikan torani (ikan terbang), dan ditutup visual Benteng Sanrobone yang merupakan situs jejak peradaban Islam, Masjid Tua Baitul Maqdis, serta makam tokoh bangsawan Datuk Mahkota yang seluruhnya mewakili daerah Sanrobone.
Dalam konteks pertunjukan, ketika visual mapping terus berjalan, satu persatu penari masuk ke dalam lapangan dengan berbagai tarian, yang pertama Tari Assulo (obor), kedua tari Patorani, masuk mengisi komposisi di tengah lapangan, kemudian bergantian dengan tari Pattapi dan Jerami hingga semuanya bersatu, dan dilengkapi tari Jala dan tari Masyarakat pada empat sisi lapangan. Ketika lantunan irama sinrilik oleh Arif Dg. Rate perlahan terdengar, semua penari berbalik dan berjalan merespon visual mapping sebuah kapal, suasana pun berganti menjadi lebih haru, terlebih ketika Lantunan syair Sinrilik yang diucapkan