Islam adalah agama yang dibawa oleh para nabi (rasul) Allah. Setidaknya ada 20 ayat Al-Qur’an yang pada ayat itu disebut nama nabi (rasul) memberi isyarat bahwa para utusan Allah itu membawa Islam. Nabi Ibrahim oleh Al-Qur’an disebut sebagai seorang yang “hanif” dan muslim (“hanifan musliman”). Kaum Hawariyun, sahabat dan murid Nabi Isa, dalam Al-Qur’an Almaidah ayat 52, berkata, …” saksikanlah, sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim…” Sebutan Islam atau muslim sudah disematkan kepada nabi-nabi dan umat pengikut nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad dan umatnya juga disebut sebagai muslim.
Jadi, Islam dan keislaman itu milik para nabi dan pengikutnya. Tidak usah satu umat, termasuk umat Nabi Muhammad mengklaim diri sebagai satu-satunya umat Islam. Klaim seperti itu keliru karena tidak sejalan dengan pernyataan Al-Qur’an.
Inklusifitas (keterbukaan dan keluasan) agama sebagai diajarkan Al-Qur’an, yang merangkul semua umat pengikut para nabi terdahulu begitu jelas dinyatakan sebagai “satu” umat dari agama Allah, yang terbentang sebanyak pesuruh Allah pada zaman dan tempat yang berbeda. Inklusifitas ajaran yang sangat agung dan prinsipil ini tampaknya redup dalam sejarah yang panjang. Agama, tegasnya Islam, yang inklusif ini berkembang menjadi agama dengan nama yang berbeda-beda dan tampak lebih sering berwajah eksklusif. Umat Nabi Muhammad, pada zaman tertentu, mengklaim diri sebagai satu-satunya umat Islam dan yang lain, bukan Islam (muslim).
Diperparah lagi, umat Nabi Muhammad, kurang menunjukkan upaya untuk mengembalikan pesan Al-Qur’an tentang Islam dan muslim yang inklusif yang sangat agung dan prinsipil; tapi sebaliknya terperangkap ke dalam wacana keagamaan yang kurang penting, tidak prinsipil, dan sepele.
Misalnya, meskipun sudah tahu kalau bergunjing dilarang, masih ditanyakan “apakah berpuasa melarang kita membincangkan keburukan seseorang padahal memang faktanya orang itu berperilaku buruk?”
Perbedaan antara muslim Sunni, muslim Syiah, dan muslim Ahmadiyah, masih menyita waktu kaum muslimin untuk memperdebatkannya. Mereka yang masih suka berdebat tentang perbedaan ketiga kelompok muslim itu dan menyalahkan (menyesatkan) selain kelompoknya, seharusnya lahir pada abad-abad yang silam.
Ironi memang, karena mereka yang disebut sebagai ulama, kiai, ustaz, dan pemuka agama senang pula untuk memperbincangkan atau memperdebatkan perkara-perkara keagamaan yang remeh dan sepele.
Misal lainnya, cuma satu ayat tentang wudu dari ribuan ayat Al-Qur’an lainnya. Ya, hanya satu ayat tapi dibahas dan diperdebatkan sepanjang zaman. Dibuat buku tak terhitung banyaknya, berjilid-jilid jumlahnya. Ini juga tanda, betapa ulama masih suka jalan di tempat. Masih suka detail yang sangat sepele. Dipertengkarkan batas siku yang dimaksud dalam ayat. Juga dibahas, boleh tidak menyeka dengan kain atau handuk, bekas basah air wudu di anggota badan? Corak berpikir seperti itu merembes kepada bidang lainnya. Inklusifitas agama dari Allah terabaikan. Yang berkembang adalah kebalikannya, eksklusifitas agama, ketertutupan dan kekerdilan. Umat beragama lambat maju!