Spektrum: Saharuddin Daming
Mencermati drama perselisihan hasil Pilpres pra dan pasca putusan MK, persoalan yang menjadi tema sentral konfrontasi kedua kubu adalah pelanggaran etik. Hampir semua dalil yang dikemukakan oleh pihak yang kalah dalam perselisihan tersebut bermuara pada tuduhan yang sangat klise pada pihak pemenang sebagai pelanggar etik. Tidak heran jika instrumen yang mereka gunakan untuk melemahkan rivalnya adalah menghadirkan saksi yang mampu mengelaborasi etika sebagai nilai yang benar-benar terlanggar dalam Pilpres.
Sayangnya karena mereka lupa bahkan sengaja mengabaikan bahwa mereka sendiri justru merupakan kubu yang paling banyak melanggar etika. Betapa tidak karena dalam permohonannya di MK, mereka mendalilkan agar pihak pemenang didiskualifikasi. Ini jelas sangat tak beretika, karena mereka baru mempersoalkan keabsahan Gibran pasca kekalahan mereka.
Mereka menuduh pemenang melakukan kecurangan melalui politisasi Bansos, dan keberpihakan menteri, padahal kubu mereka juga melakukan hal yang sama. Perhatikan saja pimpinan partai Perindo yang sangat intens membagi-bagikan sembako ke warga dengan pesan agar memilih Caleg Perindo dan paslon Pilpres 03 yang didukung Perindo. Demikian pula aktivitas menteri Sandiaga Uno yang hilir-mudik ke berbagai daerah selama masa kampanye menggunakan fasilitas negara, senantiasa menyelipkan waktunya untuk mengampanyekan caleg PPP dan Paslon 03.
Tak hanya itu, Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziah dan Menteri Desa, Abdul Halim Iskandar, notabene merupakan kader PKB, senantiasa menyisihkan waktunya untuk berkampanye, termasuk distribusi dana desa untuk kepentingan elektoral caleg PKB dan Paslon 01. Tetapi fakta ini mereka tutupi demi memperkuat politik pembusukan pada rivalnya. Bukankah ini jauh lebih tidak beretika. Ibarat pepatah kuman di seberang lautan terlihat, padahal gajah di pelupuk mata tidak tampak.