Oleh Aswar Hasan, Dosen Fisip Unhas
Adapepata yang lazim bagi masyarakat Indonesia yang menyatakan: “Busuknya seekor ikan, dimulai dari kepalanya”.
Pepatah ini mengandung makna bahwa masalah atau kerusakan dalam suatu negara, organisasi, kelompok, atau sistem biasanya berawal dari pimpinan atau orang-orang yang berada di posisi atas. Jika pemimpin atau orang-orang di puncak mengalami kerusakan moral, kelalaian, atau kesalahan, maka hal itu akan menjalar ke bawahan dan seluruh sistem.
Secara filosofis, pepatah ini mengajarkan kita bahwa integritas dan kualitas kepemimpinan sangat menentukan kesehatan dan keberlanjutan suatu organisasi atau sistem. Jika pemimpin tidak mampu memberikan teladan yang baik, maka seluruh struktur di bawahnya akan terkontaminasi dan mengalami kemunduran.
Oleh karena itu, pepatah ini menekankan pentingnya memilih dan mengembangkan pemimpin yang memiliki karakter, kompetensi, dan visi yang kuat. Seorang pemimpin harus mampu menjaga kebersihan hati dan pikiran, serta menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan integritas tinggi.
Dengan demikian, ia dapat menjadi sumber keteladanan dan inspirasi bagi seluruh anggota organisasi. Secara praktis, pepatah ini juga mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap tanda-tanda kerusakan yang muncul dari pimpinan atau orang-orang di posisi atas. Jika ada indikasi penyimpangan atau masalah di level atas, maka perlu segera dilakukan perbaikan dan pembenahan sebelum menyebar ke seluruh sistem.
Kutipan kata pepatah di atas aktualisasi sekaligus faktualisasinya di Indonesia, kini dapat kita saksikan dengan menggilanya praktik politik dinasti, dan itu telah dicontohkan secara langsung tanpa sungkan-sungkan oleh Presiden Jokowi.
Sesuai catatan Kemendagri, peserta pilkada dari unsur politik dinasti cenderung meningkat dalam setiap pelaksanaan pilkada. Peserta pilkada pada rentang waktu 2005 hingga 2014 yang berlatar belakang politik dinasti mencapai 60 calon. Angkanya lantas meningkat 53 orang pada pilkada periode 2015-2018. Lalu peserta pilkada serentak 2020 yang berlatar belakang politik dinasti mencapai 170 calon.
Catatan Kemendagri Tersebut, sejalan dengan hasil riset Yuliartiningsih dan Adrison (2022) mengenai perhelatan pilkada pada rentang waktu 2017-2020. Hasil riset keduanya menunjukkan terdapat 247 kabupaten-kota atau setara dengan 48,6 persen dari total 508 kabupaten-kota yang menggelar pilkada terindikasi bermuatan politik dinasti. Keduanya juga menemukan persentase kemenangan kandidat dari politik dinasti dalam pilkada sangat signifikan. Politik dinasti tersebut juga efektif meningkatkan elektabilitas calon kepala daerah.
Peneliti Brin, Firman Noor mengatakan, politik dinasti terus dipertahankan karena partai politik diuntungkan. Partai politik sengaja memilih calon kepala daerah dari keluarga pejabat yang masih memegang kendali kekuasaan. Sebab, sumber kekuasaan tersebut menjadi moral utama dalam memenangi pilkada. Mereka memiliki jaringan yang luas, dari pengusaha, sosial-budaya, hingga ke berbagai lapisan masyarakat. Firman berpendapat, politik dinasti menjadi marak di daerah yang ketimpangan ekonominya tinggi. Pelaku politik dinasti biasanya memiliki ekonomi yang kuat. Sedangkan masyarakat di daerahnya masuk kategori ekonomi rendah. Politik dinasti bertahan karena partai politik gagal melakukan Kaderisasi. Partai politik seharusnya menjadi kekuatan alternatif melawan politik dinasti. Tapi justru partai politik melanggengkan politik dinasti di pilkada. Politik dinasti berdampak negatif terhadap demokrasi. Sebab politik dinasti biasanya melahirkan pemimpin yang bekerja untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya (Tempo.co, 18/4/2024).
Dampak politik dinasti
Politik dinasti dapat menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi karena beberapa alasan, antara lain:
1.Menghambat kompetisi politik yang sehat. Politik dinasti cenderung membatasi partisipasi politik hanya pada anggota keluarga tertentu, sehingga mengurangi kesempatan bagi kandidat lain yang tidak terkait dengan dinasti untuk bersaing secara adil.
2.Mengabaikan prinsip meritokrasi. Dalam politik dinasti, kekuasaan dan jabatan politik lebih didasarkan pada hubungan kekeluargaan daripada kompetensi dan prestasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan kompetisi berdasarkan kemampuan.
3.Mempertahankan kekuasaan secara turun-temurun. Politik dinasti memungkinkan kekuasaan tetap berada di tangan sekelompok orang atau keluarga tertentu, menghambat pergantian kekuasaan yang merupakan esensi dari demokrasi.
4.Potensi korupsi dan nepotisme. Dengan kekuasaan yang terkonsentrasi dalam satu dinasti, terdapat risiko yang lebih besar terjadinya praktik korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan nepotisme.
5.Mengurangi akuntabilitas publik. Dalam politik dinasti, pertanggungjawaban kepada publik cenderung terabaikan karena kekuasaan dianggap sebagai hak istimewa keluarga, bukan amanah rakyat.
Jika politik dinasti terus berlanjut, hal ini dapat mengikis prinsip-prinsip demokrasi seperti kompetisi politik yang sehat, meritokrasi, pergantian kekuasaan, serta akuntabilitas publik. Oleh karena itu, politik dinasti dapat menjadi ancaman serius bagi masa depan demokrasi.
Secara umum, dari perspektif teori-teori politik praktik politik dinasti menjadi ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang menekankan pentingnya kompetisi, keberagaman, deliberasi, partisipasi, dan representasi yang adil dalam demokrasi. Sementara politik dinasti cenderung menghambat prinsip-prinsip tersebut, sehingga dapat merusak demokrasi.
Akar Masalah
Ada beberapa faktor penyebab menggilanya praktik politik dinasti. Beberapa penyebab maraknya praktik politik dinasti tersebut, diantaranya:
1.Kuatnya budaya patrimonialisme dan nepotisme di Indonesia. Hal ini membuat kekuasaan dan sumber daya cenderung diwariskan dalam lingkaran keluarga.
2.Lemahnya sistem checks and balances serta kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik. Hal ini memudahkan elit politik untuk mempertahankan kekuasaan dalam keluarga.
3.Minimnya kompetisi politik yang sehat. Banyak daerah yang didominasi oleh satu keluarga atau dinasti politik tertentu, sehingga sulit bagi calon lain untuk bersaing.
4.Kuatnya pengaruh uang dalam politik. Dinasti politik yang sudah mapan memiliki sumber daya finansial yang kuat untuk memenangkan pemilihan.
5. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya rotasi kekuasaan. Masyarakat cenderung menerima saja jika kekuasaan dipegang oleh satu keluarga.
6.Lemahnya penegakan hukum dan kurangnya sanksi yang tegas bagi praktik politik dinasti. Hal ini membuat praktik ini terus berlangsung.
Secara umum, politik dinasti terjadi karena kombinasi faktor budaya, sistem politik, dan kondisi sosial-ekonomi yang memungkinkan elit politik mempertahankan kekuasaan dalam lingkaran keluarganya. Dengan demikian,praktik politik dinasti di negeri, termasuk tentunya di Sulawesi Selatan, juga sudah terjadi. Secara nasional, praktik politik dinasti sudah terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Jadi, anda yang kebetulan bukan rumpun dari keluarga dinasti politik, maka bersiap sedialah untuk gigit jari. Wallahua’lambishawwabe. (*)