David berpendapat bahwa judicial activism dapat didefinisikan secara sempit sebagai satu atau lebih dari tiga kemungkinan tindakan: membatalkan undang-undang karena tidak konstitusional, membatalkan preseden yudisial, dan memutuskan interpretasi yang lebih disukai terhadap konstitusi (David Strauss : 2010). Ditinjau dari pendekatan judicial activism, diharapkan para hakim Mahkamah Konstitusi dapat membuat putusan mengabulkan seluruh permohonan pemohon dan bahkan dapat mempertanyakan keabsahan pencalonan Gibran sebagai calon Wakil Presiden.
Judicial activism dipahami sebagai dinamisme hakim dalam mengambil keputusan tanpa melalui batas-batas konstitusi, artinya judicial activism adalah filosofi yudisial yang menyatakan bahwa pengadilan dapat dan harus bertindak melampaui hukum yang berlaku untuk mempertimbangkan dampak sosial yang lebih luas dari keputusannya. Kadang-kadang digunakan sebagai antonim dari pengekangan yudisial. Ini biasanya menyiratkan bahwa hakim mengambil keputusan berdasarkan pandangannya sendiri dan bukan berdasarkan preseden. Hal tersebut dapat memperkuat keterwakilan demokratis dan memberikan ruang bagi pengambilan keputusan yang demokratis yang bertujuan untuk memajukan supremasi hukum dan menafsirkan konstitusi sesuai dengan aturan yang memuat norma kehidupan bernegara, agar kekuasaan dalam negara tidak disalahgunakan dan hak asasi manusia tidak dilanggar. Secara yuridis hakim harus menerapkan judicial activism yang merupakan amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Praktik judicial activism mulai berkembang di peradilan-peradilan karena adanya kebutuhan masyarakat. Hukum yang berlaku kaku dapat mencederai keadilan substantif masyarakat sehingga hakim harus menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat melalui penemuan hukum maupun interpretasi hukum.